Indonesia Dalam Demokrasi
Indonesia
pada reformasi yang telah berjalan selama sebelas tahun dengan semangat
perubahan dan meninggalkan politik Orde Baru telah terjadi banyak perubahan
terutama perubahan mendasar pada konstitusi. Namun
pada kenyataan perjalalan reformasi sampai dengan saat ini dibawah Presiden SBY
masih menggambarkan kepentingan-kepentingan politik yang berperan sebagai
bentuk keingin dari elite politik untuk berkuasa. Penggunaan partai politik
sebagai kendaraan untuk berkuasa sehingga mencederai rasa keadilan masyarakat.
Penguasa
hanya mementingkan kepentingan kelompok dan golongannya. Dengan menjadikan
partai politik untuk menguasai parlemen (DPR) sehingga dapat mempengaruhi
kebijakan politik pemerintah. Semua pembentukan peraturan perundangan
menggambarkan pengaruh partai politik dalam DPR.
Belum
lagi banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik, seperti
penyuapan pada pemilihan dewan gubernur bank Indonesia, kasus sesmenpora, kasus
bank century, dsb. Kasus-kasus tersebut digunakan partai politik untuk
melakukan tawar menawar dan alat penekan kepada partai politik lainnya terutama
partai politik penguasa. Walaupun partai politik tersebut bergabung menjadi
bagian penguasa dalam koalisi. Presiden yang terpilih secara langsung oleh
rakyat seperti takut dengan tekanan partai politik sehingga melakukan kompromi
politik dengan memberikan jatah menteri kepada partai koalisi dan pembentukan
Sekretaris Bersama. Dengan dibentuknya Sekber, hal ini yang dapat menggambarkan
kekuatan koalisi di DPR. Namun disayangkan, partai koalisi sering tidak sejalan
dengan partai penguasa. Kita
dapat melihat bagaimana kuatnya partai politik dalam DPR dengan melukan fungsi
legislasi dimana seperti tertuang dalam perubahan UUD 1945, dengan demikan
telah terjadi yang dinamakan legislative heavy.
Dalam proses legislasi kedudukan
Presiden menjadi berkurang dengan adanya perubahan pada pasal 5 ayat 1, Pasal
20 ayat 1 dan Pasal 21 UUD 1945. Sehingg telah terjadi perubahan/pergeseran
kekuasaan substantif dalam kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
Dimana DPR mempunyai posisi kuat dalam proses legislasi. Hal ini di karenakan
bukan hanya Presiden yang dapat membentuk UU tetapi DPR juga dapat membentuk
suatu UU. Hal lain juga terjadi pada pengesahan UU yang telah disetujui bersama
(DPR dan Presiden) dalam waktu tiga puluh hari
dengan demikian rancangan UU tersebut sah menjadi UU (Pasal 20 ayat 5).[1]
Dalam
perubahan UUD 1945, Indonesia mengenal sistem dua kamar (bikameral) dimana
terdapat DPR dan DPD. Namun dalam perkembangan kedudukan DPR lebih dominan
dibandingkan DPD. Hal ini terletak dalam fungsi legislasi, Pasal 22D ayat 1
memberikan fungsi legislasi keterlibatan DPD dibatasi dengan pembahasan
rancangan undang-undang tentang otonomi daerah serta pembangunan daearah,
hubungan pusat dan daerah, pengolahan sumber daya ekonomi serta berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehingga fungsi dari badan
legislatif dalam bikameral menjadi kabur. Karena keterbatasan DPP sebagai
lembaga legislatif dikuasai oleh DPR. Padahal sebagai lembaga legislatif
harusnya DPD mempunyai kewenangan yang sama dengan DPR dalam fungsi legislasi.
Dapat dilihat juga dalam Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 21 UUD 1945 kedudukan yang
berhak mengajukan rancangan undang-undang terdapat pada DPR dan presiden.
Sehingga dalam Pasal 22D ayat 1, DPD tidak mempunyai fungsi legislasi.
Keterbatasan DPD dalam fungsi legislasi terdapat pada Pasal 22D ayat 1 dan 2
juga terdapat pada UU No. 22/2003 dan Tatib DPR 2005/3006.[2]
Diskriminasi
terhadap DPD juga terdapa dalam Pasal 7A dan 7B ayat 1 s.d 6, Pasal 11 ayat 1
dan 2, Pasal 11 ayat 1 dan 2. Dalam Pasal 22C ayat 2 amandemen ketiga UUD 1945
ditegaskan jumlah anggota DPD tidak melebihi sepertiga anggota DPR. Menurut
Agus Haryadi dalam tulisan mengenai bikameral setengah hati di harian kompas,
akan mengakibatkan dominasi DPR. Dengan demikian akam melemahkan kedudukan DPD
dalam kalkulasi politik di MPR karena jumlah anggota DPD tidak lebih sepertiga.
Sehingga akan menimbulkan DPR heavy/legislative
heavy.[3]
Koalisi
partai politik terjadi karena bisa terjadi pergerakan dari partai politik yang
merasa dikecewakan oleh presiden terhadap kedudukan partai politik, apa lagi
dengan adanya isu akan terjadinya reshuffle
kabinet. Inilah titik nadir dari
posisi presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik. Hal ini diakibatkan
dari komposisi koalisi kabinet yang tidak kuat dan rapuh dalam mendukung
presiden dalam koalisi.
Hal
ini diakibatkan sistem presidensialisme yang belum baik berjalan, personalitas
dan gaya kepemimpinan presiden lemah, dan prilaku elite tidak sesuai dengan
sistem presidensial. Sehingga penerapan sistem presidensial tidak dapat
dilakukan dengan maksimal atau dengan istilah presidensialisme setengah hati (soft presidentialisme – weak president).
Adapun
beberapa kompromi yang akan terjadi dalam praktik kombinasi presidensialisme
dan multipartisme, yaitu empat kompromi eksternal dan empat kompromi internal
kekuasan presiden. Potensi kompromi eksternal : pertama, adanya
intervensi parpol terhadap presiden dan juga akomodasi presiden terhadap
kepentingan parpol dalam proses pembentukan kabinet atau dalam hal
pengangkatan/pemberhentian anggota kabinet. Kedua, munculnya
polarisasi koalisi partai diparlemen dan karakter koalisi cenderung cair dan rapuh.
Ketiga,
kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy). Keempat, perjalanan pemerintahan
sering dibayangi ancaman impeachment dari parlemen dan presiden masih rentan
dimakzulkan karena alasan politis. Potensi kompromi internal : pertama,
tereduksinya hak proregsif presiden, terutama kekuasaan presiden dalam menyusun
kabinet. Kedua, kabinet yang terbentuk cenderung kabinet koalisi
beberapa partai politik. Ketiga, adanya potensi dualisme
loyalitas (split loyality) menteri dari
unsur partai politik yang menyulut konflik kepentingan (conflict of interest), yakni satu sisi loyalitas terhadap presiden,
disisi lain loyalitas kepada pimpinan partai. Keempat, terganggunya
keharmonisan hubungan antara presiden dan wakil presiden, minimal akan terjadi
keretakan terselubung.[4]
Presidensialisme reduktif (setengah
hati), kondisi ketika aspek institusionalnya (konstruksi
konstitusi, desain institusi politik, dan sistem kepartaian) rapuh, dan
personalitas presiden juga lemah (soft
presidentialism-soft president). Kondisi ini terjadi apabila personalitas
presiden lemah, struktur konstitusi rapuh (undang-undang dibawah konstitusi
mereduksi prinsip presidensialisme dalam konstitusi), serta struktur politik
kepartaian juga rapuh (multipartai ekstrem).
Karena struktur politik kepartaian tidak kondusif dengan sistem presidensial (sistem multipartai tidak sederhana),
kontrol parlemen menjadi kuatdan lembaga legislatif cenderung lebih kuat dari
presiden (legislative heavy). Koalisi
partai yang terbangun di parlemen sangat cair dan rapuh karena tidak diikat
persamaan ideologi atau platform yang sama.[5]
Indikatornya adalah,
pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden dan parpol, konfigurasi parlemen
dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan parlemen (potensi kompromi
eksternal), impeachment presiden (struktur
konstitusi dan desain institusi politik tidak merumuskan secara jelas mekanisme
impeachment terhadap presiden hanya bisa dilakukan karena alasan hukum,
sehingga kemungkinan impeachment secara politik tetap terbuka), hak prerogratif
presiden, komposisi kabinet, loyalitas menteri, dan hubungan presiden dan wakil
presiden (potensi kompromi internal).
Rindu Orde Baru :
Orde Baru merupakan salah satu periode kelam demokrasi
Indonesia. Dimana kekuasaan tunggal ada ditangan seorang Presiden dengan
diperkuat militer dan di dukung oleh mesin politik (golkar). Kekuasaann yang
absolut ditangan Presiden Soeharto, sehingga mematikan sistem politik Indonesia.
Dimana terjadinya pelanggaran HAM, Tidak adanya kebebasan pers, matinya lembaga
legislatif, pengekangan terhadap kebebasan berpolitik warga negara, dan
diberikan peranan besar kepada militer untuk menguasai bisnis dan birokrasi.
Dengan demikian pembuatan kebijakan bukan ditujukan untuk rakyat, namun lebih
kepada kepentingan penguasa. Dimana para pemegang peran dalam menentukan
kebijakan penguasa orde baru dibawah Soeharto adalah ABRI, Birokrasi dan
Golkar.
1. Semaraknya korupsi,
kolusi, nepotisme.
2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah
sebagian besar disedot ke pusat.
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua.
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya.
5. Bertambahnya kesenjangan
sosial.
6. Pelanggaran HAM kepada
masyarakat non pribumi (Tionghoa).
7. Kritik dibungkam dan
oposisi diharamkan.
8. Kebebasan pers sangat
terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel.
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan
program Penembak Misterius (Petrus).
10. Tidak ada rencana
suksesi kepemimpinan nasional seolah Soeharto raja seumur hidup.
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit
Asal Bapak Senang (ABS).
12. Menurunnya kualitas prajurit TNI karena level elit terlalu sibuk
berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Pemerintah
dlm 5 UU Politik : UU Pemilu (UU No. 1/1985), UU tentang Susunan dan kedudukan
MPR, DPR dan DPRD (UU No. 2/1985), UU tentang partai politik dan Golkar (UU No.
3/1985), UU tentang referendum (UU No. 5/1985), dan UU tentang ormas (UU No.
8/1985). Dengan lima UU Politik ini, sistem kekuasaan Orde Baru telah membatasi
kegiatan-kegiatan masyarakat dalam bidang politik, menutup saluran-saluran
aspirasi demokratik, mencegah golongan-golongan dalam masyarakat untuk
mempersoalkan problem-problem besar negara dan rakyat. Lima UU Politik ini
digunakan untuk membiarkan rakyat “bodoh politik”, Akibatnya :
organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda menjadi lemah, dewan-dewan
perwakilan rakyat menjadi pembela kepentingan penguasa. Konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru di bawah
pimpinan Presiden Soeharto. Dengan dalih stabilisator, dinamisator, penjaga UUD 45, pengaman
Pancasila, tokoh-tokoh ABRI di berbagai tingkat, telah ditempatkan di-mana-mana
: dalam pemerintahan sipil, dalam berbagai macam lembaga politik , dalam
sektor-sektor ekonomi, dalam diplomasi dan bidang lainnya. Pentrapan yang salah
konsep Dwifungsi telah melahirkan jaring-jaringan kekuasaan yang ditugaskan
untuk mempertahankan tegaknya Orde Baru.[7]
Di bidang legislatif, presiden yang
notabene daya jangkau kekuasaannya dalam bidang eksekutif mencampuri lembaga
legislatif bahkan lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Presiden menunjuk utusan golongan dan masyarakat separuh dari 1000
anggota MPR. Secara tak langsung, Soeharto ikut mempengaruhi isi dari lembaga
tertinggi negara itu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. konsepsi ideologi atau keyakinan
terhadap gagasan pada masa Orde Baru bertumpu pada dua kekuatan yakni pembangunisme
(developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI. ABRI mau tidak mau menambah perannya tidak
sekedar kekuatan pertahanan dan keamanan tetapi juga kekuatan sosial dan
politik. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa stabilitas politik bisa tercipta
kalau ada campur tangan ABRI dalam politik. Untuk itu ABRI mencari pembenaran
campur tangan dalam politik. gagasan Abdul Haris Nasution tentang
dwifungsi yang dikatakan hanya sementara tidak tertarik lagi karena sudah
terlalu dalam campur tangan ABRI dalam politik. Muncullah kemudian campur
tangan dalam pemerintahan yang menggunakan kedok kekaryaan.[8]
Daftar
Bacaan
Reni Dwi Purnomowati, S.H., M.H, 2005, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen
Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer
Dalam Sistem Presidensial Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Hanta Yuda AR, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema
Ke Kompromi, Gramedia, Jakarta
http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/Sistem%20politik%20Orde%20Baru%20tidak%20akan%20bisa%20brantas%20korupsi.htm
diunduh tanggal 26/6/2011
http://globalisasi.wordpress.com/2007/01/06/basis-ideologi-orde-baru/,
diunduh tanggal 26/6/2011
http://nasional.inilah.com/read/detail/1518612/kezaliman-meraja-di-masa-orba,
diunduh tanggal 26/06/2011
[1] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya
Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia
[2] Ibid
[3] Reni Dwi Purnomowati,
S.H., M.H, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia
[4] Hanta Yuda, 2010, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema
Ke Kompromi
[5] Ibid, Hanta Yuda
[6]
http://nasional.inilah.com/read/detail/1518612/kezaliman-meraja-di-masa-orba,
diunduh tanggal 26/06/2011
[8]
http://globalisasi.wordpress.com/2007/01/06/basis-ideologi-orde-baru/,
diunduh tanggal 26/6/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar