Kamis, 05 Mei 2016


Indonesia Dalam Demokrasi

Indonesia pada reformasi yang telah berjalan selama sebelas tahun dengan semangat perubahan dan meninggalkan politik Orde Baru telah terjadi banyak perubahan terutama perubahan mendasar pada konstitusi. Namun pada kenyataan perjalalan reformasi sampai dengan saat ini dibawah Presiden SBY masih menggambarkan kepentingan-kepentingan politik yang berperan sebagai bentuk keingin dari elite politik untuk berkuasa. Penggunaan partai politik sebagai kendaraan untuk berkuasa sehingga mencederai rasa keadilan masyarakat.

Penguasa hanya mementingkan kepentingan kelompok dan golongannya. Dengan menjadikan partai politik untuk menguasai parlemen (DPR) sehingga dapat mempengaruhi kebijakan politik pemerintah. Semua pembentukan peraturan perundangan menggambarkan pengaruh partai politik dalam DPR.
Belum lagi banyaknya kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik, seperti penyuapan pada pemilihan dewan gubernur bank Indonesia, kasus sesmenpora, kasus bank century, dsb. Kasus-kasus tersebut digunakan partai politik untuk melakukan tawar menawar dan alat penekan kepada partai politik lainnya terutama partai politik penguasa. Walaupun partai politik tersebut bergabung menjadi bagian penguasa dalam koalisi. Presiden yang terpilih secara langsung oleh rakyat seperti takut dengan tekanan partai politik sehingga melakukan kompromi politik dengan memberikan jatah menteri kepada partai koalisi dan pembentukan Sekretaris Bersama. Dengan dibentuknya Sekber, hal ini yang dapat menggambarkan kekuatan koalisi di DPR. Namun disayangkan, partai koalisi sering tidak sejalan dengan partai penguasa. Kita dapat melihat bagaimana kuatnya partai politik dalam DPR dengan melukan fungsi legislasi dimana seperti tertuang dalam perubahan UUD 1945, dengan demikan telah terjadi yang dinamakan legislative heavy.

Dalam proses legislasi kedudukan Presiden menjadi berkurang dengan adanya perubahan pada pasal 5 ayat 1, Pasal 20 ayat 1 dan Pasal 21 UUD 1945. Sehingg telah terjadi perubahan/pergeseran kekuasaan substantif dalam kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR. Dimana DPR mempunyai posisi kuat dalam proses legislasi. Hal ini di karenakan bukan hanya Presiden yang dapat membentuk UU tetapi DPR juga dapat membentuk suatu UU. Hal lain juga terjadi pada pengesahan UU yang telah disetujui bersama (DPR dan Presiden) dalam waktu tiga puluh hari  dengan demikian rancangan UU tersebut sah menjadi UU (Pasal 20 ayat 5).[1]  

Dalam perubahan UUD 1945, Indonesia mengenal sistem dua kamar (bikameral) dimana terdapat DPR dan DPD. Namun dalam perkembangan kedudukan DPR lebih dominan dibandingkan DPD. Hal ini terletak dalam fungsi legislasi, Pasal 22D ayat 1 memberikan fungsi legislasi keterlibatan DPD dibatasi dengan pembahasan rancangan undang-undang tentang otonomi daerah serta pembangunan daearah, hubungan pusat dan daerah, pengolahan sumber daya ekonomi serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehingga fungsi dari badan legislatif dalam bikameral menjadi kabur. Karena keterbatasan DPP sebagai lembaga legislatif dikuasai oleh DPR. Padahal sebagai lembaga legislatif harusnya DPD mempunyai kewenangan yang sama dengan DPR dalam fungsi legislasi. Dapat dilihat juga dalam Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 21 UUD 1945 kedudukan yang berhak mengajukan rancangan undang-undang terdapat pada DPR dan presiden. Sehingga dalam Pasal 22D ayat 1, DPD tidak mempunyai fungsi legislasi. Keterbatasan DPD dalam fungsi legislasi terdapat pada Pasal 22D ayat 1 dan 2 juga terdapat pada UU No. 22/2003 dan Tatib DPR 2005/3006.[2]

Diskriminasi terhadap DPD juga terdapa dalam Pasal 7A dan 7B ayat 1 s.d 6, Pasal 11 ayat 1 dan 2, Pasal 11 ayat 1 dan 2. Dalam Pasal 22C ayat 2 amandemen ketiga UUD 1945 ditegaskan jumlah anggota DPD tidak melebihi sepertiga anggota DPR. Menurut Agus Haryadi dalam tulisan mengenai bikameral setengah hati di harian kompas, akan mengakibatkan dominasi DPR. Dengan demikian akam melemahkan kedudukan DPD dalam kalkulasi politik di MPR karena jumlah anggota DPD tidak lebih sepertiga. Sehingga akan menimbulkan DPR heavy/legislative heavy.[3]

Koalisi partai politik terjadi karena bisa terjadi pergerakan dari partai politik yang merasa dikecewakan oleh presiden terhadap kedudukan partai politik, apa lagi dengan adanya isu akan terjadinya reshuffle kabinet. Inilah titik nadir dari posisi presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik. Hal ini diakibatkan dari komposisi koalisi kabinet yang tidak kuat dan rapuh dalam mendukung presiden dalam koalisi.
Hal ini diakibatkan sistem presidensialisme yang belum baik berjalan, personalitas dan gaya kepemimpinan presiden lemah, dan prilaku elite tidak sesuai dengan sistem presidensial. Sehingga penerapan sistem presidensial tidak dapat dilakukan dengan maksimal atau dengan istilah presidensialisme setengah hati (soft presidentialisme – weak president).

Adapun beberapa kompromi yang akan terjadi dalam praktik kombinasi presidensialisme dan multipartisme, yaitu empat kompromi eksternal dan empat kompromi internal kekuasan presiden. Potensi kompromi eksternal : pertama, adanya intervensi parpol terhadap presiden dan juga akomodasi presiden terhadap kepentingan parpol dalam proses pembentukan kabinet atau dalam hal pengangkatan/pemberhentian anggota kabinet. Kedua, munculnya polarisasi koalisi partai diparlemen dan karakter koalisi cenderung cair dan rapuh. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy). Keempat, perjalanan pemerintahan sering dibayangi ancaman impeachment dari parlemen dan presiden masih rentan dimakzulkan karena alasan politis. Potensi kompromi internal : pertama, tereduksinya hak proregsif presiden, terutama kekuasaan presiden dalam menyusun kabinet. Kedua, kabinet yang terbentuk cenderung kabinet koalisi beberapa partai politik. Ketiga, adanya potensi dualisme loyalitas (split loyality) menteri dari unsur partai politik yang menyulut konflik kepentingan (conflict of interest), yakni satu sisi loyalitas terhadap presiden, disisi lain loyalitas kepada pimpinan partai. Keempat, terganggunya keharmonisan hubungan antara presiden dan wakil presiden, minimal akan terjadi keretakan terselubung.[4]

Presidensialisme reduktif (setengah hati), kondisi ketika aspek institusionalnya (konstruksi konstitusi, desain institusi politik, dan sistem kepartaian) rapuh, dan personalitas presiden juga lemah (soft presidentialism-soft president). Kondisi ini terjadi apabila personalitas presiden lemah, struktur konstitusi rapuh (undang-undang dibawah konstitusi mereduksi prinsip presidensialisme dalam konstitusi), serta struktur politik kepartaian juga rapuh (multipartai ekstrem). Karena struktur politik kepartaian tidak kondusif dengan sistem presidensial (sistem multipartai tidak sederhana), kontrol parlemen menjadi kuatdan lembaga legislatif cenderung lebih kuat dari presiden (legislative heavy). Koalisi partai yang terbangun di parlemen sangat cair dan rapuh karena tidak diikat persamaan ideologi atau platform yang sama.[5]

Indikatornya adalah, pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden dan parpol, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan parlemen (potensi kompromi eksternal),  impeachment presiden (struktur konstitusi dan desain institusi politik tidak merumuskan secara jelas mekanisme impeachment terhadap presiden hanya bisa dilakukan karena alasan hukum, sehingga kemungkinan impeachment secara politik tetap terbuka), hak prerogratif presiden, komposisi kabinet, loyalitas menteri, dan hubungan presiden dan wakil presiden (potensi kompromi internal).

Rindu Orde Baru :
Orde Baru merupakan salah satu periode kelam demokrasi Indonesia. Dimana kekuasaan tunggal ada ditangan seorang Presiden dengan diperkuat militer dan di dukung oleh mesin politik (golkar). Kekuasaann yang absolut ditangan Presiden Soeharto, sehingga mematikan sistem politik Indonesia. Dimana terjadinya pelanggaran HAM, Tidak adanya kebebasan pers, matinya lembaga legislatif, pengekangan terhadap kebebasan berpolitik warga negara, dan diberikan peranan besar kepada militer untuk menguasai bisnis dan birokrasi. Dengan demikian pembuatan kebijakan bukan ditujukan untuk rakyat, namun lebih kepada kepentingan penguasa. Dimana para pemegang peran dalam menentukan kebijakan penguasa orde baru dibawah Soeharto adalah ABRI, Birokrasi dan Golkar.
Beberapa dosa Orde Baru :[6]
1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme.
2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat.
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua.
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya.
5. Bertambahnya kesenjangan sosial.
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (Tionghoa).
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan.
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel.
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program Penembak Misterius (Petrus).
10. Tidak ada rencana suksesi kepemimpinan nasional seolah Soeharto raja seumur hidup.
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang (ABS).
12. Menurunnya kualitas prajurit TNI karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.

Pemerintah dlm 5 UU Politik : UU Pemilu (UU No. 1/1985), UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU No. 2/1985), UU tentang partai politik dan Golkar (UU No. 3/1985), UU tentang referendum (UU No. 5/1985), dan UU tentang ormas (UU No. 8/1985). Dengan lima UU Politik ini, sistem kekuasaan Orde Baru telah membatasi kegiatan-kegiatan masyarakat dalam bidang politik, menutup saluran-saluran aspirasi demokratik, mencegah golongan-golongan dalam masyarakat untuk mempersoalkan problem-problem besar negara dan rakyat. Lima UU Politik ini digunakan untuk membiarkan rakyat “bodoh politik”, Akibatnya : organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda menjadi lemah, dewan-dewan perwakilan rakyat menjadi pembela kepentingan penguasa.  Konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.  Dengan dalih stabilisator, dinamisator, penjaga UUD 45, pengaman Pancasila, tokoh-tokoh ABRI di berbagai tingkat, telah ditempatkan di-mana-mana : dalam pemerintahan sipil, dalam berbagai macam lembaga politik , dalam sektor-sektor ekonomi, dalam diplomasi dan bidang lainnya. Pentrapan yang salah konsep Dwifungsi telah melahirkan jaring-jaringan kekuasaan yang ditugaskan untuk mempertahankan tegaknya Orde Baru.[7]

Di bidang legislatif, presiden yang notabene daya jangkau kekuasaannya dalam bidang eksekutif mencampuri lembaga legislatif bahkan lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden menunjuk utusan golongan dan masyarakat separuh dari 1000 anggota MPR. Secara tak langsung, Soeharto ikut mempengaruhi isi dari lembaga tertinggi negara itu dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.  konsepsi ideologi atau keyakinan terhadap gagasan pada masa Orde Baru bertumpu pada dua kekuatan yakni pembangunisme (developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI. ABRI mau tidak mau menambah perannya tidak sekedar kekuatan pertahanan dan keamanan tetapi juga kekuatan sosial dan politik. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa stabilitas politik bisa tercipta kalau ada campur tangan ABRI dalam politik. Untuk itu ABRI mencari pembenaran campur tangan dalam politik. gagasan Abdul Haris Nasution tentang dwifungsi yang dikatakan hanya sementara tidak tertarik lagi karena sudah terlalu dalam campur tangan ABRI dalam politik. Muncullah kemudian campur tangan dalam pemerintahan yang menggunakan kedok kekaryaan.[8]

Daftar Bacaan
Reni Dwi Purnomowati, S.H., M.H, 2005, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Hanta Yuda AR, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema Ke Kompromi, Gramedia, Jakarta



[1] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia
[2] Ibid
[3] Reni Dwi Purnomowati, S.H., M.H, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia
[4] Hanta Yuda, 2010, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema Ke Kompromi
[5] Ibid, Hanta Yuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar