Selasa, 10 Mei 2016

Kelompok Kepentingan dan Partai Politik Berbasis Agama


A.    PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Pada masa orde baru, kebijakan yang dikembangkan adalah Indonesia bukan negara sekuler dan negara teokrasi. Dengan demikian, jalannya pemerintahan tidak didasarkan pada agama tertentu. Indonesia tidak seperti negara – negara sekuler yang memisahkan tajam antara agama dan negara, tetapi dalam taraf tertentu negara dan agama masih memiliki titik singgung. Hal ini terlihat dari adanya departemen yang secara khusus mengurus agama dan adanya kekuasaan  negara didalam mengakui lembaga agama tertentu (Departemen Agama). Titik – titik singung itu sebenarnya lebih berlangsung searah, yakni adanya dominasi pengaruh negara atas agama yang lebih besar dan bukan sebaliknya.
Secara Politik, kecenderungan adanya sekularisasi agama pada masa pemerintahan orde baru cukup kuat. Hal ini terlihat dari adanya pelanggaran partai – partai yang secara khusus didasarkan pada agama tertentu, meskipun masih memperbolehkan adanya partai tertentu yang masih memiliki orientasi spiritual didalam programnya. Contoh yang dapat dilihat adalah partai PPP yang dilarang berasaskan Islam (karena semua partai saat itu diwajibkan berasaskan Pancasila) tetapi tetap diperbolehkan membuat program – program partai yang didasarkan pada spiritualisme Islam. Dengan kata lain, agama tidak dianggap sebagai fakta politik melainkan sebagai fakta kultural[1]. Didalam konteks medern, secara ideologis, kelompok ini lebih dekat dengan gagasan tentang adanya pemisahan antara agama dan politik daripada sebaliknya.
Konstruksi seperti ini mengalami perubahan setelah runtuhnya pemerintahan jenderal Soeharto. Sebagai bagian dari proses demokrasi, plitik aliran yang pernah terjadi dan menguat pada 1950-an muncul kembali. Hal ini ditandai oleh kemunculan kembali partai – partai politk dan kelompok – kelompok penekan berbasis agama. Salah satu kekhawatiran yang timbul adalah menguatnya kembali partai – partai politik Islam dan kelompok penekan berbasis agama yang kemudian melakukan pembajakan terhadap demokrasi.


2.    Rumusan Masalah
Hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bagaimana partai-partai islam dan kelompok – kelompok penekan berbasis agama berperan dalam politik Indonesia.

3.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melihat sejauh mana kemungkinan partai – partai islam dan kelompok – kelompok kepentingan berbasis agama berperan dalam politik di Indonesia.

4.    Sistematika Penulisan
Penulisan ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam tiga bagian. Masing – masing bagian terdiri atas beberapa sub bagian guna lebih memperjelas cakupan penulisan. Adapun urutan dan tata letaknya serta pokok pembahasannya sebagai berikut.
Bagian pertama berisi latar belakang; ini sebagai pengantar singkat bangkitnya partai – partai Islam setelah runtuhnya rejim Soeharto. Selanjutnya, berisi rumusan masalah mengenai perkembangan partai – partai islam dan juga perkembangan islam garis keras ini memenangi pemilu.. Dengan demikian, hal terakhir adalah tujuan penulisan.
Bagian Kedua berisi Pembahasan. Pada awal bagian ini berisi konsep – konsep penting yang digunakan, kemudian dilanjutkan dengan perkembangan partai – partai politik Islam mulai dari era orde lama, orde baru serta reformasi. Setelah melihat perkembangan tersebut, pada bagian ini akan diakhiri dengan analisis.
Bagian ketiga berisi Penutup. Bagian ini dibagi dua, yaitu Kesimpulan dan Saran tentang hal – hal menurut Penulis yang seyogyanya dapat diambil sebagai alternatif menuju demokrasi yang maju.


B.     PEMBAHASAN

1.    Islam dan Politik
Dalam kepustakaan Islam telah lama dikenal Fiqh politik (Fiqhis Siyasah), yang mendasari pandangannya bahwa Syari’at Islam disamping mengatur tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah), juga mencakup hubungan pemimpin dengan rakyat. Politik menurut perspektif syari’at, ialah yang menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, sekaligus sebagai tujuan, sasaran, system dan jalannya politik.
Politik adalah bagian dari syari’at islam yang diatur oleh syari’at yang bertujuan untuk tegaknya syari’at itu sendiri. Politik dalam pandangan para ulama, diartikan dalam dua makna, yaitu, Pertama, dalam makna umum, yaitu untuk menangani urusan manusia dan masalah kehidupan berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna khusus yaitu pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang dikeluarkannya untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan yang telah terjadi atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus didasarkan pada fiqh islamy, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada serta praktek. Dalam pelaksanaannya fiqh islami itu berinteraksi dengan realitas kehidupan, serta berbuat untuk memecahkan berbagai masalah dengan merujuk kepada syari’at. Syari’at tidak menutup mata terhadap realitas kehidupan, oleh kerena itu realitas juga adalah alat untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul.

2.    Partai Politik
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan beradasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil (Miriam Budiarjo, 1991:161). Ia adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dengan kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara yang menghubungkan kekuatan-kekuatandan idilogi-idiologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik didalam masyarakat politik yang lebih luas.
Pembentukan partai politik didasarkan atas kesamaan idiologi, visi serta misinya untuk membangunan dan memecahkan masalah-masalah bangsa dan Negara. Karena itu dilihat dari visi, misi serta idiologi partai maka ada yang disebut partai konservatif dan ada partai liberal. Pada sisi lain ada partai yang berdasarkan agama dan ada yang berlandaskan sosialisme, kerakyatan dan lain-lain. Dalam kenyataannya tidak selalu hanya ada satu partai politik yang menganut idiologi dan dasar yang sama dalam suatu negara. Karena walaupun menganut dasar, prinsip dan visi serta misi yang sama bisa lahir beberapa partai politik. Karena itu pembentukan partai politik juga sangat dipengaruhi oleh pandangan dan kemauan yang lebih personal dari para tokoh atau pimpinan partai politik, hal ini biasanya terjadi perbedaan kecil pada gaya kepemimpinan dari pimpinan partai politik yang bersangkutan.

3.    Partai Politik di Indonesia
Sistem multi partai pada pemilu tahun 1955, nampak sekali pengelompokon idiologis partai-partai yang ada yang dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar yaitu kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Hal ini terlihat pada terbelahnya pandangan terhadap Negara diantara partai-partai politik dalam Konstituante. Pada kelompok nasionalis sekuler terdapat Nasionalis yang tergabung dalam Partai Nasional Indonesia yang memiliki kekuatan sangat besar sebagai hasil pemilu 1955, Kelompok Komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia, kelompok agama non-Islam yaitu Partai Katolik dan Parkindo serta kelompok yang lain dari kelompok fungsional serta kedaerahan. Sedangkan dari kalangan Islam, terdapat Partai Masyumi yang mendapat dukungan dari kalangan Islam modernis, Nahdatul Ulama (NU) dari kalangan Islam tradisional serta dari Partai Syarikat islam.
Sepanjang Orde Baru Partai Komunis dibubarkan dan paham Komunis dihancurkan di Indonesia, sehingga kekuatan politik komunis dalam kancah politik Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan tidak ada. Dengan demikian, tinggal dua kekuatan partai politik yang bertahan yaitu partai politik kelompok Islam dan kelompok Nasionalis. Sepanjang pemerintahan Orde Baru, dilakukan rasionalisasi partai politik dengan hanya ada dua partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia serta Golongan Karya. Karena Golkar merupakan kendaraan politik Pemerintahan Orde Baru yang didukung oleh militer dan birokrasi, maka pemilu selama Orde Baru tidak menunjukkan kekuatan riil aliran-aliran politik yang ada. Pada masa ini muncul ABRI sebagai kekuatan politik yang sangat menentukan dalam penentuan kebijakan-kebijakan Negara.
Pemilu tahun 1999, masih menunjukkan kecenderungan politik aliran yang sama seperti pada pemilu tahun 1955. Ada kesinambungan dari sifat aliran-aliran dari periode terdahulu. Partai dikatakan mempunyai pendukung kebijakan dalam masyarakat. Muslim modernis cenderung mendukung partai politik jenis tertentu, muslim tradisionalis pada pihak lain dan muslim nasionalis abangan (lebih sekuler).

4.    Partai Politik Islam di Indonesia
Sepanjang sejarahnya setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melaksanakan beberapa kali pemilu. Dari seluruh pemilu tersebut juga diikuti oleh partai-partai Islam.
Pemilu pertama yang dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), diikuti oleh 118 peserta dari organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta pemilu tersebut terdapat 5 partai islam, yaitu Majelis Suro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Tharekat Islam Indonesia (PTII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
Hasil Pemilu tahun 1955, partai-partai Islam memperoleh hasil yang cukup baik walaupun masih kalah suara dibanding dengan partai-partai nasionalis sekuler. Total kursi ynag diperoleh partai partai Islam di DPR adalah 116 kursi dari 257 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 45,13 %. Sedangkan di Konstituante memperoleh 230 kursi dari 514 kursi konstituante yang diperebutkan dalam pemilu atau sebesar 44,74 %.
Issu politik yang paling menonjol yang dibawa oleh partai-partai Islam hasil pemilu tahun 1955 dan mempunyai suara yang sama untuk itu, adalah persoalan idiologi yaitu Islam sebagai dasar negara, berhadapan dengan kelompok lain yang menginginkan Pancasila serta sosial ekonomi sebagai dasar Negara. Pada saat itu seluruh partai Islam memandang bahwa Islam dan poltik tidak bisa dipisahkan dan politik adalah bagian dari syariat, hal ini nampak jelas dalam rancangan Mukaddimah Undang-Undang Dasar yang disusun oleh kelompok Islam yang berbunyi “ ..Maka untuk memelihara kemerdekaan itu, kami bangsa Indoesia berketetapan hati untuk menyusun Negara Indonesia menjadi Republik berdaulat berdasarkan Islam”. Hal itu terjadi karena memang pada saat itu sedang diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia di Konstituante. Namun perdebatan mengenai dasar Negara tidak membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan yang seimbang sehingga tidak mencapai jumlah  2/3 yang dibutuhkan.
Pemilu kedua dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971, pada masa awal Orde Baru. Pemilu kedua ini diikuti oleh 10 Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu PSII memperoleh 10 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 26 kursi dan Partai Islam Perti mendapat 2 kursi. Jumlah total perolehan kursi Partai-partai islam adalah 96 kursi dari 362 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 26,5 %.
Sejak pemilu tahun 1977 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi partai politik oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu PPP sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia. Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun 1982, memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari 400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%.
Pemilu sepanjang Orde Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi diatas 62 % sampai 75 % yang merupakan alat politk pemerintah Orde Baru. Karena itu perolehan suara partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan Karya, Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahakan kekuasaannya. Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan birokrasi dan ABRI. 
Hal diatas dapat terjadi karena format politik orde baru memperlihatkan terjadinya proses de-aliranisasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan ditopang ABRI. Proses ini dilakukan dengan berbagai macam cara. Pertama, dengan melakukan depolitisasimassa secara sistematik. Depolitisasi tersebut dilakukan melalui sejumlah kebijaksanaan, misal: prinsip monoloyalitas bagi semua PNS dan pegawai perusahaan negara, dan dibentuknya sebuah organisasi serikat untuk semua pegawai pemerintah, yaitu; Korpri. Dengan demikian Pemerintah tidak terkotak – kotak kedalam aliran ideologi yang mengikuti ideologi partai – partai yang ada pada saat itu. Kedua, dengan melakukan floating mass/ massa mengambang. Artinya individu – individu tidak memiliki ikatan tertentu dengan partai politik, kecuali pada saat Pemilu. Tapi dalam kenyataannya hanya diberlakukan buat partai – partai politik, bukan partai pemerintah (Golkar)[2].

5.    Partai Islam Pada Masa Reformasi
Lahirnya Masa Reformasi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei 1998. Presiden B.J.Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa itu membuka keran demokrasi ini dengan seluas-luasnya yaitu dengan membuka dan menjamin kebebasan pers serta membebaskan berdirinya partai-partai politik yang baru. Aspek paksaan didalam berpolitik pada masa ini juga mengendur[3].
Kebijakan Presiden B.J.Habibie yang membebaskan berdirinya partai politik itu, disambut dengan lahirnya ratusan partai politik baru di Indonesia yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pemilu bulan Juni 1999. Dalam pemilu pertama masa itu, hanya diikuti oleh 21 partai Islam. Peranan dan kedudukan parlemen hasil pemilu tahun 1999 inilah kebijakan strategis dan mendasar bagi masa depan Indonesia di letakkan antara lain dengan adanya perubahan yang sangat besar pada UUD Negara Republik Indonesia.
Pada masa ini, pandangan dan posisi partai-partai Islam dan partai-partai yang berbasiskan massa Islam berbeda pandangan dalam perdebatan tentang pasal 29 UUD 1945. Partai-Partai Islam yang dimotori oleh Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan penambahan 7 kata dari Piagam Jakarta dalam pasal 29 ayat 1, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dua partai lain, PAN dan PK membuat rumusan “dengan kewajiban menjalankan agama bagi masing – masing pemeluknya”. Usulan ini tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai – partai yang memiliki kursi di DPR/MPR. Bahkan, dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhhammadiyah juga menolak. Keadaan ini sangat berbeda dengan posisi perdebatan dalam konstiante hasil pemilu tahun 1955, dimana seluruh partai Islam memperjuangan Islam sebagai dasar Negara, baik dari NU yang duduk dalam Konstituante maupun dari basis Muhammadiyah sebagai anggota luar biasa Masyumi. Perkembangan ini mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan dalam cara pandang para politisi Islam mengenai hubungan negara dengan agama (Islam).
Pada sisi politik praktis dalam hal penentuan dan pemilihan kepemimpinan, partai-partai Islam dan partai yang berbasiskan massa Islam dapat bersatu dan memiliki pandangan yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Hal ini menjukkan adanya sikap pragamtis para politisi Islam di parlemen dalam berpolitik.
Pada Pemilu 2004, peta perolehan suara tidak jauh berbeda. Bahkan pada Pemilu ini hanya PKB yang memperoleh suara diatas 10 persen. Tetapi dalam hal perolehan suara di DPR, PKB dibawah PAN. Pada Pemilu ini, PKS mengalami penguatan suara yang signifikan.
Pada Pemilu 2009, suara partai – partai Islam kembali mengalami penurunan. total perolehan suara partai – partai Islam hanya 29,3%. Perolehan ini sama dengan perolehan suara PPP pada Pemilu 1997.

6.    Kelompok Kepentingan dan Penekan Berbasis Agama
Indonesia pasca pemerintahan orde baru juga ditandai oleh lahirnya dan menguatnya kelompok – kelompok kepentingan dan penekan yang berbasis agama. Kelompok ini berusaha mempengaruhi  atau melakukan penekanan terhadap proses pembuatan keputusan politik. Kelompok kepentingan dan penekan ini berasal dari kalangan islam. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Idonesia beragama islam.  Pada masa orde baru, kekuatan islam yang memiliki basis kuat adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini merupakan organisasi terbesar di Indonesia.
Muhammadiyah sering disebut sebagai organisasi keagamaan islam modernis. Hal ini disebabkan karena sebagian besar anggota muhammadiyah berada diwilayah perkotaan. Dalam menafsirkan ajaran Islam, penganut muhammadiyah tidak menggantungkan diri pada ulama, mengedepankan ijtihad dan bersumber langsung pada Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan Nu disebut organisasi keagaamaan Islam tradisionalis. Sebagian besar penganutnya tinggal di pedesaan dan memahami Islam melalui ajaran/ tafsiran para ulama. Pada bagian ini akan mencoba untuk membagi Islam menurut pemetaan dialogis:
Kategori pertama adalah kelompok dikalangan umat Islam yang melihat Islam dan Politik sebagai 2 wilayah yang terpisah. Diwakili oleh Intelektual Muslim Muda baik NU maupun Muhammadiyah, antara lain yang berada di Utan Kayu-Jakarta dan tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL); LKiS di Jogyakarta, LSAP di Surabaya dan komunitas muslim di daerah – daerah lainnya yang menggagas pemikiran “Islam Liberal” yang antara lain membagi Islam dan politik sebagai dua wilayah tersendiri. Agama dilihat sebagai wilayah pribadi yang tidak perlu diatur oleh negara, sementara politik sebagai ruang publik yang melibatkan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Akan tetapi, penekanannya supaya setiap orang untuk mengekspresikan dirinya menjunjung tinggi sesamanya. Pembebasan berarti dengan beragama, seseorang tidak lagi mengalami penindasan dan menindas sesamanya.
Kategori kedua adalah kelompok dikalangan umat Islam yang melihat Islam dan Politik sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Adalah mereka yang memiliki arah perjuangan politis untuk mendirikan Negara Islam sebagai pelaksanaan Syariat Islam. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam bukan hanya sebagai sistim kepercayaan yang berurusan dengan hal-hal  spritual, melainkan juga berurusan dengan hal-hal yang bersifat sistimatis, pragmatis dan ideologi. Islam dipahami sebagai sebuah ideologi yang dimengerti pula dalam kerangka berpikir sekular-sakral artinya bahwa Islam mencakup religiusitas dan sekaligus instrumentalitas politik. Dalam upaya untuk merealisasikan tujuan gerakannya, tidak jarang berada pada posisi  berhadapan dengan negara. Era pasca Rejim Soeharto ditandai dengan bangkit kembalinya sejumlah kelompok militan dan radikal yang menghubungkan diri dengan dan menggunakan atribut Islam seperti: Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahl Sunna wa – Jamaah/FKAWJ dimana yang paling menonjol adalah devisi keamanan dalam bentuk Laskar Jihad yang sudah dibekukan, HAMMAS, Majelis Mujahiddin Indonesia yang sering dikait-eratkan dengan jaringan Jamaah Islamiyah, Negara Islam Indonesia disingkat NII.
Krisis sosial yang tumbuh subur di Indonesia dianggap penyebab eksistensi gerakan radikal Islam. Sehingga nampak di permulaan tahun 2002 kelompok Hizbut Tahrir dalam demonstrasinya menolak kenaikan harga BBM, tarif Listrik dan Telepon, mengaitkannya dengan penegakkan Syariat Islam sebagai solusi dari ketidakadilan kebijakan ekonomi. Salah satu cara kaum Islamis untuk mengatasi disorientasi seperti ini adalah resosialisasi ruang – ruang urban antara lain dengan penghancuran klub – klub malam dan konsumsi miras dan narkoba seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI).
Munculnya kembali kekuatan politik berbasis agama dalam proses politik di Indonesia merupakan tuntutan demokrasi yang berkembang. Demokrasi berarti adanya penghargaan terhadap nilai – nilai dasar yang ada. Pada masa orde baru, makna demokrasi direduksikan semata – mata sebagai instrumen untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan melalui Pemilu.
Terdapat dua arus besar dalam pemikiran politik Islam. Pertama, Islam harus menjadi landasan  dalam bernegara (menjadi konstitusi). Dalam hal demikian, kedaulatan tidak berada ditangan rakyat, melainkan ditangan Tuhan. Kedua, Islam diletakan dalam kerangka substantif. Dengan demikian Islam dalam pemahaman demikian tidak memberi tuntutan secara tegas tentang negara. Corak pandang yang kedua inilah yang dapat berjalan dengan demokrasi. Perlu diketahui bahwa Islam mengedepankan nilai – nilai seperti ijma (Konsensus), keadilan, persamaan, dan partisipasi. Dengan menggunakan corak kedua Islam diharapkan dapat menjadi kekuatan besar yang dapat mendukung pemulihan demokrasi politik tanpa menghapuskan hak – hak minoritas yang berada didalamnya.





C.    PENUTUP
a.    Kesimpulan
Di Indonesia, politik aliran tidak saja terefleksi dari munculnya partai –partai politikyang didasarkan atas agama tertentu. Pasca pemerintahan Soeharto megakibatkan semakin menguatnya kelompok kepentingan/ penekan didalam memperjuangkan nilai – nilai Islam.
Kemunculan partai dan kelompok berbasis agama menjadi pertanda telah dibukanya keran demokrasi. Tetapi apakah dua hal yang berjalan saling berinringan itu akan dapat memberikan kemajuan bagi kemajuan demokrasi itu merupakan masalah tersendiri.
Memperhatikan perbandingan perolehan suara partai Islam dalam pemilu dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Ini karena bukan hal yang mudah bagi partai-partai Islam untuk kembali menempati posisi seperti yang dihasilkan oleh pemilu tahun 1955. Banyak perubahan dan pergeseran yang terjadi akibat politik Orde Baru. Pemilu tahun 1999, masih terpengaruh oleh suasana kejatuhan Orde Baru dan masa transisi yang masih memberikan harapan kepada partai partai Islam untuk memperoleh suaru yang lebih baik pada pemilu-pemilu berikutnya. Bagaimanapun juga kemenangan besar PDIP pada pemilu 1999 yang lalu adalah karena kuatnya tekanan rezim Soeharto terhadap Megawati dan PDIP, sehingga mendapat simpati rakyat yang sangat kuat. PDIP adalah partai yang sangat personalistik. Megawati telah mewarisi pengikut ayahnya yang sangat kharismatis. Para pendukung partai mencintai Ibu Mega.
Peluang bagi partai-partai Islam adalah adanya pergeseran pilihan pemilih serta dari para pemilih pemula. Hal itu hanya bisa dicapai dengan kemampuan konsolidasi internal dari partai-partai Islam agar dapat mengorganisir, memobilasi, merumuskan serta menyuarakan kepentingan-kepentingan ummat islam dengan lebih baik.

b.   Saran

Perlu dikembangkannya demokrasi yang penuh. Artinya seorang pemimpin/ politisi yang terpilih melalui pemilihan yang fair dan bebas perlu untuk memegang nilai – nilai dasar didalam kebebasan yang seharusnya dijunjung tinggi didalam berdemokrasi didalam menjalankan pemerintahannya sehingga adanya perkembangan politik yang berbasis agama ini dapat berjalan beriringan dengan demokrasi yang berkembang.


Sumber Bacaan

Budiharjo Miriam.2004. Dasar – dasar Ilmu Poltik;Jakarta; Gramedia Purtaka Utama.
Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru; Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Gaffar, Afan. 2006 Politik Indonesia. Transisi Menuju demokrasi;Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bambang S. Sulasmono, Negara “Orde baru” Indonesia, Bahan kuliah Sistem Politik Indonesia, Program Pasca-Sarjana kekhususan Ketatanegaraan, Magister Ilmu Hukum, Universitas Kristen Satya Wacana. 2011








[1] Marijan, Kacung, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Kencana, H 306
[2] Gaffar, Afan, Politik Indonesia. transisi menuju demokrasi,  Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hal 321-132
[3] Marijan, Kacung, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Kencana, Hal 308

Tidak ada komentar:

Posting Komentar