A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pada masa orde baru,
kebijakan yang dikembangkan adalah Indonesia bukan negara sekuler dan negara
teokrasi. Dengan demikian, jalannya pemerintahan tidak didasarkan pada agama
tertentu. Indonesia tidak seperti negara – negara sekuler yang memisahkan tajam
antara agama dan negara, tetapi dalam taraf tertentu negara dan agama masih
memiliki titik singgung. Hal ini terlihat dari adanya departemen yang secara
khusus mengurus agama dan adanya kekuasaan negara didalam mengakui lembaga agama tertentu
(Departemen Agama). Titik – titik singung itu sebenarnya lebih berlangsung
searah, yakni adanya dominasi pengaruh negara atas agama yang lebih besar dan
bukan sebaliknya.
Secara Politik,
kecenderungan adanya sekularisasi agama pada masa pemerintahan orde baru cukup
kuat. Hal ini terlihat dari adanya pelanggaran partai – partai yang secara
khusus didasarkan pada agama tertentu, meskipun masih memperbolehkan adanya
partai tertentu yang masih memiliki orientasi spiritual didalam programnya. Contoh
yang dapat dilihat adalah partai PPP yang dilarang berasaskan Islam (karena
semua partai saat itu diwajibkan berasaskan Pancasila) tetapi tetap
diperbolehkan membuat program – program partai yang didasarkan pada
spiritualisme Islam. Dengan kata lain, agama tidak dianggap sebagai fakta
politik melainkan sebagai fakta kultural[1].
Didalam konteks medern, secara ideologis, kelompok ini lebih dekat dengan
gagasan tentang adanya pemisahan antara agama dan politik daripada sebaliknya.
Konstruksi seperti
ini mengalami perubahan setelah runtuhnya pemerintahan jenderal Soeharto.
Sebagai bagian dari proses demokrasi, plitik aliran yang pernah terjadi dan
menguat pada 1950-an muncul kembali. Hal ini ditandai oleh kemunculan kembali
partai – partai politk dan kelompok – kelompok penekan berbasis agama. Salah
satu kekhawatiran yang timbul adalah menguatnya kembali partai – partai politik
Islam dan kelompok penekan berbasis agama yang kemudian melakukan pembajakan
terhadap demokrasi.
2.
Rumusan Masalah
Hal yang menarik
untuk dikaji lebih lanjut adalah bagaimana partai-partai islam dan kelompok –
kelompok penekan berbasis agama berperan dalam politik
Indonesia.
3.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan
ini adalah untuk melihat sejauh mana kemungkinan partai – partai islam dan
kelompok – kelompok kepentingan berbasis agama berperan dalam politik di
Indonesia.
4.
Sistematika Penulisan
Penulisan ini disusun
dengan sistematika yang terbagi dalam tiga bagian. Masing – masing bagian
terdiri atas beberapa sub bagian guna lebih memperjelas cakupan penulisan.
Adapun urutan dan tata letaknya serta pokok pembahasannya sebagai berikut.
Bagian pertama berisi
latar belakang; ini sebagai pengantar singkat bangkitnya partai – partai Islam
setelah runtuhnya rejim Soeharto. Selanjutnya, berisi rumusan masalah mengenai perkembangan
partai – partai islam dan juga perkembangan islam garis keras ini memenangi
pemilu.. Dengan demikian, hal terakhir adalah tujuan penulisan.
Bagian Kedua berisi
Pembahasan. Pada awal bagian ini berisi konsep – konsep penting yang digunakan,
kemudian dilanjutkan dengan perkembangan partai – partai politik Islam mulai
dari era orde lama, orde baru serta reformasi. Setelah melihat perkembangan
tersebut, pada bagian ini akan diakhiri dengan analisis.
Bagian ketiga berisi
Penutup. Bagian ini dibagi dua, yaitu Kesimpulan dan Saran tentang hal – hal
menurut Penulis yang seyogyanya dapat diambil sebagai alternatif menuju
demokrasi yang maju.
B.
PEMBAHASAN
1.
Islam dan Politik
Dalam kepustakaan
Islam telah lama dikenal Fiqh politik (Fiqhis Siyasah), yang mendasari
pandangannya bahwa Syari’at Islam disamping mengatur tentang hubungan antara
manusia dengan Tuhannya (masalah-masalah ibadah), juga mencakup hubungan
pemimpin dengan rakyat. Politik menurut perspektif syari’at, ialah yang
menjadikan syari’at sebagai pangkal tolak, sekaligus sebagai tujuan, sasaran,
system dan jalannya politik.
Politik adalah bagian
dari syari’at islam yang diatur oleh syari’at yang bertujuan untuk tegaknya
syari’at itu sendiri. Politik dalam pandangan para ulama, diartikan dalam dua
makna, yaitu, Pertama, dalam makna umum, yaitu untuk menangani urusan manusia
dan masalah kehidupan berdasarkan syari’at agama. Kedua, politik dalam makna
khusus yaitu pendapat yang dinyatakan pemimpin, hukum dan ketetapan yang
dikeluarkannya untuk menangkal kerusakan yang akan terjadi, mengatasi kerusakan
yang telah terjadi atau untuk memecahkan masalah-masalah khusus. Politik harus
didasarkan pada fiqh islamy, yang berasal dari segala mazhab fiqh yang ada
serta praktek. Dalam pelaksanaannya fiqh islami itu berinteraksi dengan
realitas kehidupan, serta berbuat untuk memecahkan berbagai masalah dengan
merujuk kepada syari’at. Syari’at tidak menutup mata terhadap realitas
kehidupan, oleh kerena itu realitas juga adalah alat untuk memecahkan
masalah-masalah yang timbul.
2.
Partai Politik
Partai politik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut
atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya
dan beradasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan
yang bersifat idiil maupun materiil (Miriam Budiarjo, 1991:161). Ia adalah
organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam
masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian
kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat
dengan kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan
demikian partai politik merupakan perantara yang menghubungkan kekuatan-kekuatandan
idilogi-idiologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang
mengaitkannya dengan aksi politik didalam masyarakat politik yang lebih luas.
Pembentukan partai
politik didasarkan atas kesamaan idiologi, visi serta misinya untuk membangunan
dan memecahkan masalah-masalah bangsa dan Negara. Karena itu dilihat dari visi,
misi serta idiologi partai maka ada yang disebut partai konservatif dan ada
partai liberal. Pada sisi lain ada partai yang berdasarkan agama dan ada yang
berlandaskan sosialisme, kerakyatan dan lain-lain. Dalam kenyataannya tidak
selalu hanya ada satu partai politik yang menganut idiologi dan dasar yang sama
dalam suatu negara. Karena walaupun menganut dasar, prinsip dan visi serta misi
yang sama bisa lahir beberapa partai politik. Karena itu pembentukan partai
politik juga sangat dipengaruhi oleh pandangan dan kemauan yang lebih personal
dari para tokoh atau pimpinan partai politik, hal ini biasanya terjadi
perbedaan kecil pada gaya kepemimpinan dari pimpinan partai politik yang
bersangkutan.
3.
Partai Politik di Indonesia
Sistem multi partai
pada pemilu tahun 1955, nampak sekali pengelompokon idiologis partai-partai
yang ada yang dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar yaitu kelompok
nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Hal ini terlihat pada terbelahnya
pandangan terhadap Negara diantara partai-partai politik dalam Konstituante.
Pada kelompok nasionalis sekuler terdapat Nasionalis yang tergabung dalam
Partai Nasional Indonesia yang memiliki kekuatan sangat besar sebagai hasil
pemilu 1955, Kelompok Komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia,
kelompok agama non-Islam yaitu Partai Katolik dan Parkindo serta kelompok yang
lain dari kelompok fungsional serta kedaerahan. Sedangkan dari kalangan Islam,
terdapat Partai Masyumi yang mendapat dukungan dari kalangan Islam modernis,
Nahdatul Ulama (NU) dari kalangan Islam tradisional serta dari Partai Syarikat
islam.
Sepanjang Orde Baru
Partai Komunis dibubarkan dan paham Komunis dihancurkan di Indonesia, sehingga
kekuatan politik komunis dalam kancah politik Indonesia hingga saat ini dapat
dikatakan tidak ada. Dengan demikian, tinggal dua kekuatan partai politik yang
bertahan yaitu partai politik kelompok Islam dan kelompok Nasionalis. Sepanjang
pemerintahan Orde Baru, dilakukan rasionalisasi partai politik dengan hanya ada
dua partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi
Indonesia serta Golongan Karya. Karena Golkar merupakan kendaraan politik
Pemerintahan Orde Baru yang didukung oleh militer dan birokrasi, maka pemilu
selama Orde Baru tidak menunjukkan kekuatan riil aliran-aliran politik yang
ada. Pada masa ini muncul ABRI sebagai kekuatan politik yang sangat menentukan
dalam penentuan kebijakan-kebijakan Negara.
Pemilu tahun 1999,
masih menunjukkan kecenderungan politik aliran yang sama seperti pada pemilu
tahun 1955. Ada kesinambungan dari sifat aliran-aliran dari periode terdahulu.
Partai dikatakan mempunyai pendukung kebijakan dalam masyarakat. Muslim
modernis cenderung mendukung partai politik jenis tertentu, muslim
tradisionalis pada pihak lain dan muslim nasionalis abangan (lebih sekuler).
4.
Partai Politik Islam di Indonesia
Sepanjang sejarahnya
setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah melaksanakan
beberapa kali pemilu. Dari seluruh pemilu tersebut juga diikuti oleh
partai-partai Islam.
Pemilu pertama yang
dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 pada masa pemerintahan kabinet
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), diikuti oleh 118 peserta dari
organisasi partai politik, organisasi kemasyarakatan maupun perorangan. Untuk
memperebutkan 257 kursi DPR dan 514 kursi Konstituante. Dari seluruh peserta
pemilu tersebut terdapat 5 partai islam, yaitu Majelis Suro Muslimin Indonesia
(Masyumi), Nahdatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai
Tharekat Islam Indonesia (PTII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
Hasil Pemilu tahun
1955, partai-partai Islam memperoleh hasil yang cukup baik walaupun masih kalah
suara dibanding dengan partai-partai nasionalis sekuler. Total kursi ynag
diperoleh partai partai Islam di DPR adalah 116 kursi dari 257 kursi DPR yang
diperebutkan atau sebesar 45,13 %. Sedangkan di Konstituante memperoleh 230
kursi dari 514 kursi konstituante yang diperebutkan dalam pemilu atau sebesar
44,74 %.
Issu politik yang
paling menonjol yang dibawa oleh partai-partai Islam hasil pemilu tahun 1955
dan mempunyai suara yang sama untuk itu, adalah persoalan idiologi yaitu Islam
sebagai dasar negara, berhadapan dengan kelompok lain yang menginginkan
Pancasila serta sosial ekonomi sebagai dasar Negara. Pada saat itu seluruh
partai Islam memandang bahwa Islam dan poltik tidak bisa dipisahkan dan politik
adalah bagian dari syariat, hal ini nampak jelas dalam rancangan Mukaddimah
Undang-Undang Dasar yang disusun oleh kelompok Islam yang berbunyi “ ..Maka
untuk memelihara kemerdekaan itu, kami bangsa Indoesia berketetapan hati untuk
menyusun Negara Indonesia menjadi Republik berdaulat berdasarkan Islam”. Hal
itu terjadi karena memang pada saat itu sedang diperdebatkan tentang Konstitusi
Indonesia di Konstituante. Namun perdebatan mengenai dasar Negara tidak
membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan yang
seimbang sehingga tidak mencapai jumlah
2/3 yang dibutuhkan.
Pemilu kedua
dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971, pada masa awal Orde Baru. Pemilu kedua
ini diikuti oleh 10 Partai Politik diantaranya ada 4 partai Islam yaitu PSII
memperoleh 10 kursi, NU 58 Kursi, Parmusi 26 kursi dan Partai Islam Perti
mendapat 2 kursi. Jumlah total perolehan kursi Partai-partai islam adalah 96
kursi dari 362 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 26,5 %.
Sejak pemilu tahun
1977 sampai dengan tahun 1997 yaitu selama 20 tahun terjadi rasionalisasi
partai politik oleh pemerintah Orde Baru yaitu hanya ada 3 partai politik yaitu
PPP sebagai partai Islam, Golongan Karya serta Partai Demokrasi Indonesia.
Partai Islam semakin pudar dengan perolehan suara yang terus menurun yaitu pada
pemilu 1977 memperoleh kursi sebesar 27,5% dari 360 kursi DPR, Pemilu tahun
1982, memperoleh 26,1% dari 360 kursi DPR, Pemilu 1987 memperoleh 15,25 % dari
400 kursi yang diperebutkan, pemilu 1992 memperoleh 15 % dari 400 kursi yang
diperebutkan dan pemilu terakhir Orde Baru yaitu pemilu 1997 memperoleh 16%.
Pemilu sepanjang Orde
Baru, dilaksanakan dibawah dominasi Golongan Karya yang selalu memperoleh kursi
diatas 62 % sampai 75 % yang merupakan alat politk pemerintah Orde Baru. Karena
itu perolehan suara partai Islam pada masa ini bukan merupakan indikasi
sebenarnya atas sikap pemilih yang dilakukan secara terbuka dan demokratis
dalam pemilu. Orde Baru memanfaatkan seluruh kekuatan politiknya yaitu Golongan
Karya, Birokrasi dan ABRI untuk mendukung dan mempertahakan kekuasaannya.
Kemenangan Golkar didukung penuh oleh kekuatan birokrasi dan ABRI.
Hal diatas dapat
terjadi karena format politik orde baru memperlihatkan terjadinya proses
de-aliranisasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan ditopang ABRI. Proses ini
dilakukan dengan berbagai macam cara. Pertama, dengan melakukan
depolitisasimassa secara sistematik. Depolitisasi tersebut dilakukan melalui
sejumlah kebijaksanaan, misal: prinsip monoloyalitas
bagi semua PNS dan pegawai perusahaan negara, dan dibentuknya sebuah
organisasi serikat untuk semua pegawai pemerintah, yaitu; Korpri. Dengan
demikian Pemerintah tidak terkotak – kotak kedalam aliran ideologi yang
mengikuti ideologi partai – partai yang ada pada saat itu. Kedua, dengan
melakukan floating mass/ massa mengambang. Artinya individu – individu tidak
memiliki ikatan tertentu dengan partai politik, kecuali pada saat Pemilu. Tapi
dalam kenyataannya hanya diberlakukan buat partai – partai politik, bukan
partai pemerintah (Golkar)[2].
5.
Partai Islam Pada Masa Reformasi
Lahirnya Masa
Reformasi ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Soeharto pada taggal 21 Mei
1998. Presiden B.J.Habibie yang menggantikan Soeharto pada masa itu membuka
keran demokrasi ini dengan seluas-luasnya yaitu dengan membuka dan menjamin
kebebasan pers serta membebaskan berdirinya partai-partai politik yang baru.
Aspek paksaan didalam berpolitik pada masa ini juga mengendur[3].
Kebijakan Presiden
B.J.Habibie yang membebaskan berdirinya partai politik itu, disambut dengan
lahirnya ratusan partai politik baru di Indonesia yang dilanjutkan dengan
pelaksanaan pemilu bulan Juni 1999. Dalam pemilu pertama masa itu, hanya
diikuti oleh 21 partai Islam. Peranan dan kedudukan parlemen hasil pemilu tahun
1999 inilah kebijakan strategis dan mendasar bagi masa depan Indonesia di
letakkan antara lain dengan adanya perubahan yang sangat besar pada UUD Negara
Republik Indonesia.
Pada masa ini, pandangan
dan posisi partai-partai Islam dan partai-partai yang berbasiskan massa Islam
berbeda pandangan dalam perdebatan tentang pasal 29 UUD 1945. Partai-Partai
Islam yang dimotori oleh Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan
mengusulkan penambahan 7 kata dari Piagam Jakarta dalam pasal 29 ayat 1, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Dua partai lain, PAN dan PK membuat rumusan “dengan
kewajiban menjalankan agama bagi masing – masing pemeluknya”. Usulan ini tidak
mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai – partai yang memiliki kursi di
DPR/MPR. Bahkan, dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhhammadiyah juga
menolak. Keadaan ini sangat berbeda dengan posisi perdebatan dalam konstiante
hasil pemilu tahun 1955, dimana seluruh partai Islam memperjuangan Islam
sebagai dasar Negara, baik dari NU yang duduk dalam Konstituante maupun dari
basis Muhammadiyah sebagai anggota luar biasa Masyumi. Perkembangan ini
mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan dalam cara pandang para
politisi Islam mengenai hubungan negara dengan agama (Islam).
Pada sisi politik
praktis dalam hal penentuan dan pemilihan kepemimpinan, partai-partai Islam dan
partai yang berbasiskan massa Islam dapat bersatu dan memiliki pandangan yang
sama. Hal ini dapat dilihat pada saat terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid
pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Hal ini menjukkan adanya sikap pragamtis para
politisi Islam di parlemen dalam berpolitik.
Pada Pemilu 2004,
peta perolehan suara tidak jauh berbeda. Bahkan pada Pemilu ini hanya PKB yang
memperoleh suara diatas 10 persen. Tetapi dalam hal perolehan suara di DPR, PKB
dibawah PAN. Pada Pemilu ini, PKS mengalami penguatan suara yang signifikan.
Pada Pemilu 2009,
suara partai – partai Islam kembali mengalami penurunan. total perolehan suara
partai – partai Islam hanya 29,3%. Perolehan ini sama dengan perolehan suara
PPP pada Pemilu 1997.
6.
Kelompok Kepentingan dan Penekan
Berbasis Agama
Indonesia pasca
pemerintahan orde baru juga ditandai oleh lahirnya dan menguatnya kelompok –
kelompok kepentingan dan penekan yang berbasis agama. Kelompok ini berusaha
mempengaruhi atau melakukan penekanan
terhadap proses pembuatan keputusan politik. Kelompok kepentingan dan penekan
ini berasal dari kalangan islam. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Idonesia
beragama islam. Pada masa orde baru,
kekuatan islam yang memiliki basis kuat adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Kedua organisasi ini merupakan organisasi terbesar di Indonesia.
Muhammadiyah sering
disebut sebagai organisasi keagamaan islam modernis. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar anggota muhammadiyah berada diwilayah perkotaan. Dalam
menafsirkan ajaran Islam, penganut muhammadiyah tidak menggantungkan diri pada
ulama, mengedepankan ijtihad dan bersumber langsung pada Al-Quran dan
As-Sunnah. Sedangkan Nu disebut organisasi keagaamaan Islam tradisionalis.
Sebagian besar penganutnya tinggal di pedesaan dan memahami Islam melalui
ajaran/ tafsiran para ulama. Pada bagian ini akan mencoba untuk membagi Islam
menurut pemetaan dialogis:
Kategori pertama adalah kelompok dikalangan umat Islam yang melihat Islam
dan Politik sebagai 2 wilayah yang terpisah. Diwakili oleh Intelektual Muslim
Muda baik NU maupun Muhammadiyah, antara lain yang berada di Utan Kayu-Jakarta
dan tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL); LKiS di Jogyakarta, LSAP di
Surabaya dan komunitas muslim di daerah – daerah lainnya yang menggagas
pemikiran “Islam Liberal” yang antara lain membagi Islam dan politik sebagai
dua wilayah tersendiri. Agama dilihat sebagai wilayah pribadi yang tidak perlu
diatur oleh negara, sementara politik sebagai ruang publik yang melibatkan
masyarakat melalui prosedur demokrasi. Akan tetapi,
penekanannya supaya setiap orang untuk mengekspresikan dirinya menjunjung
tinggi sesamanya. Pembebasan berarti dengan beragama, seseorang tidak lagi
mengalami penindasan dan menindas sesamanya.
Kategori kedua adalah kelompok dikalangan umat Islam yang melihat Islam
dan Politik sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Adalah
mereka yang memiliki arah perjuangan politis untuk mendirikan Negara Islam
sebagai pelaksanaan Syariat Islam. Kelompok ini menegaskan bahwa Islam bukan
hanya sebagai sistim kepercayaan yang berurusan dengan hal-hal spritual, melainkan juga berurusan dengan
hal-hal yang bersifat sistimatis, pragmatis dan ideologi. Islam dipahami
sebagai sebuah ideologi yang dimengerti pula dalam kerangka berpikir
sekular-sakral artinya bahwa Islam mencakup religiusitas dan sekaligus
instrumentalitas politik. Dalam upaya untuk merealisasikan tujuan gerakannya,
tidak jarang berada pada posisi
berhadapan dengan negara. Era pasca Rejim Soeharto ditandai dengan
bangkit kembalinya sejumlah kelompok militan dan radikal yang menghubungkan
diri dengan dan menggunakan atribut Islam seperti: Front Pembela Islam (FPI),
Forum Komunikasi Ahl Sunna wa – Jamaah/FKAWJ dimana yang paling menonjol adalah
devisi keamanan dalam bentuk Laskar Jihad yang sudah dibekukan, HAMMAS, Majelis
Mujahiddin Indonesia yang sering dikait-eratkan dengan jaringan Jamaah
Islamiyah, Negara Islam Indonesia disingkat NII.
Krisis sosial yang tumbuh subur di Indonesia dianggap
penyebab eksistensi gerakan radikal Islam. Sehingga nampak di permulaan tahun
2002 kelompok Hizbut Tahrir dalam demonstrasinya menolak kenaikan harga BBM,
tarif Listrik dan Telepon, mengaitkannya dengan penegakkan Syariat Islam
sebagai solusi dari ketidakadilan kebijakan ekonomi. Salah satu cara kaum Islamis
untuk mengatasi disorientasi seperti ini adalah resosialisasi ruang – ruang urban
antara lain dengan penghancuran klub – klub malam dan konsumsi miras dan
narkoba seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI).
Munculnya kembali
kekuatan politik berbasis agama dalam proses politik di Indonesia merupakan
tuntutan demokrasi yang berkembang. Demokrasi berarti adanya penghargaan
terhadap nilai – nilai dasar yang ada. Pada masa orde baru, makna demokrasi
direduksikan semata – mata sebagai instrumen untuk memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan melalui Pemilu.
Terdapat dua arus
besar dalam pemikiran politik Islam. Pertama,
Islam harus menjadi landasan dalam
bernegara (menjadi konstitusi). Dalam hal demikian, kedaulatan tidak berada
ditangan rakyat, melainkan ditangan Tuhan. Kedua,
Islam diletakan dalam kerangka substantif. Dengan demikian Islam dalam
pemahaman demikian tidak memberi tuntutan secara tegas tentang negara. Corak
pandang yang kedua inilah yang dapat berjalan dengan demokrasi. Perlu diketahui
bahwa Islam mengedepankan nilai – nilai seperti ijma (Konsensus), keadilan,
persamaan, dan partisipasi. Dengan menggunakan corak kedua Islam diharapkan
dapat menjadi kekuatan besar yang dapat mendukung pemulihan demokrasi politik
tanpa menghapuskan hak – hak minoritas yang berada didalamnya.
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Di Indonesia, politik
aliran tidak saja terefleksi dari munculnya partai –partai politikyang
didasarkan atas agama tertentu. Pasca pemerintahan Soeharto megakibatkan
semakin menguatnya kelompok kepentingan/ penekan didalam memperjuangkan nilai –
nilai Islam.
Kemunculan partai dan
kelompok berbasis agama menjadi pertanda telah dibukanya keran demokrasi.
Tetapi apakah dua hal yang berjalan saling berinringan itu akan dapat
memberikan kemajuan bagi kemajuan demokrasi itu merupakan masalah tersendiri.
Memperhatikan
perbandingan perolehan suara partai Islam dalam pemilu dari tahun ke tahun
cenderung mengalami penurunan. Ini karena bukan hal yang mudah bagi
partai-partai Islam untuk kembali menempati posisi seperti yang dihasilkan oleh
pemilu tahun 1955. Banyak perubahan dan pergeseran yang terjadi akibat politik
Orde Baru. Pemilu tahun 1999, masih terpengaruh oleh suasana kejatuhan Orde
Baru dan masa transisi yang masih memberikan harapan kepada partai partai Islam
untuk memperoleh suaru yang lebih baik pada pemilu-pemilu berikutnya.
Bagaimanapun juga kemenangan besar PDIP pada pemilu 1999 yang lalu adalah
karena kuatnya tekanan rezim Soeharto terhadap Megawati dan PDIP, sehingga
mendapat simpati rakyat yang sangat kuat. PDIP adalah partai yang sangat
personalistik. Megawati telah mewarisi pengikut ayahnya yang sangat
kharismatis. Para pendukung partai mencintai Ibu Mega.
Peluang bagi
partai-partai Islam adalah adanya pergeseran pilihan pemilih serta dari para
pemilih pemula. Hal itu hanya bisa dicapai dengan kemampuan konsolidasi
internal dari partai-partai Islam agar dapat mengorganisir, memobilasi,
merumuskan serta menyuarakan kepentingan-kepentingan ummat islam dengan lebih
baik.
b.
Saran
Perlu dikembangkannya demokrasi yang penuh. Artinya seorang
pemimpin/ politisi yang terpilih melalui pemilihan yang fair dan bebas perlu
untuk memegang nilai – nilai dasar didalam kebebasan yang seharusnya dijunjung
tinggi didalam berdemokrasi didalam menjalankan pemerintahannya sehingga adanya
perkembangan politik yang berbasis agama ini dapat berjalan beriringan dengan
demokrasi yang berkembang.
Sumber Bacaan
Budiharjo Miriam.2004. Dasar
– dasar Ilmu Poltik;Jakarta; Gramedia Purtaka Utama.
Kacung
Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia.
Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru; Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Gaffar, Afan. 2006 Politik
Indonesia. Transisi Menuju demokrasi;Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bambang S. Sulasmono, Negara
“Orde baru” Indonesia, Bahan kuliah Sistem Politik Indonesia, Program Pasca-Sarjana
kekhususan Ketatanegaraan, Magister Ilmu Hukum, Universitas Kristen Satya
Wacana. 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar