Minggu, 01 Mei 2016

Anotasi Buku : Hanta Yuda AR


PRESIDENSIALISME SETENGAH HATI
Dari DILEMA Ke KOMPROMI
Buku : Hanta Yuda AR

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial (pasal 4 UUD 1945) dan mulai diterapkan secara utuh pada pemilu 2004. Amandemen UUD 1945 telah berhasil mengantarkan pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidensial yang telah murni. Dengan demikian ini merupakan ditandai dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Dimana sebelumnya apabila dibandingkan dengan sebelum amandemen UUD 1945, pemilihan presiden dan wakil presiden secara tidak langsung melalui MPR yang banyak mengandung kelemahan dan distorsi ketika dipraktekan sebelum amandemen UUD 1945. Dan sebelum diamandemenkan, pemerintahan Indonesia sering dikatakan sebagai sistem semipresidensial.
Perjalanan sistem presidensial Indonesia
Orde lama
Perjalanan sistem presidensial mengalami pasang surut, dimana sistem presidensial pada saat UUD 1945 sebelum perubahan telah ada setelah indonesia merdeka. Dimana kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, bersifat mandiri antara presiden dan parlemen (adanya separation of power). DPR tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan sebaliknya, dan presiden mempunyai hak prerogatif dalam membentuk kabinet, sehingga menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR.
Namun dengan dikeluarkan maklumat wakiil presiden No. X, dengan demikian adanya checks and balances untuk membatasi kekuasaan presiden. Dengan demikian terjadi perubahan dalam struktur kekuasaan pemerintahan. Presiden hanya menjadi kepala negara sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Dengan demikian telah terjadi perubahan dimana sebelumnya Indonesia menganut sistem presidensil berubah menjadi sistem parlementer.
Pelembagaan sistem parlementer dimulai sejak terbentuknya kabinet parlementer yang pertama, yaitu kabinet syahrir I pada tanggal 14 Desember 1945. Kemudian silih berganti kabinet parlementer dipimpin perdana menteri.
Sistem parlementer juga diterapkan pada masa RIS, kabinet RIS adalah sistem parlementer kabinet dipimpin seorang perdana menteri. Sistem kelembegaan RIS menggunakan sistem bikameral, yang terdiri dari senat dan DPR, tetapi tanpa jabatan wakil presiden.
Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan tanggal 17 agustus 1945. Konstitusi yang berlaku UUDS 1950 yang juga masih bercorak parlementer. Tidak menganut sistem bikameral dan senat dibubarkan.UUDS 1950 menegaskan bahwa kepala negara adalah presiden dan kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Pada masa berlakunya UUDS 1950, sistem presidensial tidak terlembagakan. Kemudia presiden soekarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 juli 1959.
Orde Baru
Pada masa orde baru indonesia kembali dalam sistem presidensil, dan terdapat dua ciri yang diterapkan oleh presiden soeharto, pertama, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kedua, kekuasaan dan hak proregatif presiden untuk mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet.
Namun terdapat kepincangan dalam penerapan sistem presidensil pada masa orde baru, yaitu pertama, sistem presidensial yang diterapkan tanpa mekanisme checks and balances. Kedua, masa jabatan presiden tidak tetap dan tanpa pembatasan. Ketiga, fungsi wakil presiden sangat inferior dihadapan presiden.
Dalam masa orde baru, sistem presidensial berjalan dengan tidak ada pemilihan presiden secara langsung, dan tidak adanya checks and balances antara presiden dan DPR. Sehingga pemurnian sistem presidensial tidak dapat dilaksanakan karena kekuasaan berpusat pada presiden.
Namun pada kenyataan, sistem tersebut lebih mengarah kepada sistem parlementer. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa pemberhentian presiden, yaitu presiden Soekarno, Soeharto dan Abdulrrahman Wahid. Semua presiden Indonesia tersebut  diberhentikan dengan alasan politk yang mana diawali dengan gerakan di dalam parlemen yaitu DPR. Dalam sistem presidensial rancangan mekanisme checks and balances sering kali menjadi persoalan utama dalam sistem presidensial. Hal ini tidak terlihat dalam era orde lama dan orde baru.

Era reformasi
Pada awal era reformasi, presiden habibie belum menyentuh aspek implementasi sepenuhnya. Karena merupakan pemerintahan transisi. Namun proses pemurnian sistem presidensial sudah mulai muncul dengan diselenggarakan pemilu pada tahun 1999.
MPR mengangkat Gus Dur sebagai presiden tanggal 19 oktober 1999, dan kemudian pada tanggal 23 juli MPR mengangkat Megawati sebagai presiden. Ada dua hal yang mendasar dalam pemerintahan kedua presiden tersebut, melalui amandemen UUD 1945. Pertama penguatan fungsi checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif. Kedua, adanya pembatasan masa jabatan presiden (pasal 7 UUD 1945)
Amandemen konstitusi dan purifikasi presidensialisme
Ada lima hal substansi perubahan yang memperkuat sistem presidensial. Pertama, pembatasan masa jabatan presiden. Kedua, revitalisasi kemandirian lembaga parlemen melalui fungsi checks and balances. Ketiga, pelembagaan sistem presidensial secsara langsung. Keempat, proses pencalonan presiden dan wakil presiden dalam satu paket. Kelima, presiden tidak bisa dijatuhkan dengan alasan politis.

Pada era reformasi ini, sistem checks and balances diterapkan sehingga ada kecenderungan dominasi bergeser dari lembaga kepresidenan ke parlemen. Dapat dilihat dengan dimana dalam menunjuk seorang duta besar, presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
Ketidakstabilan pemerintah dalam sistem presidensial diyakini semakin kentara bila dipadukan dengan sistem multipartai. Perpaduan ini diyakini akan cenderung melahirkan presiden minoritas (minority presidential) dan pemerintahan terbelah (divided government).
Pendapat Ahli tentang sistem presidensial
Menurut Scott Mainwaring, sistem presidensial tidak otomatis menghambat kinerja dan stabilitas demokrasi disuatu negara. Presidensialisme menjadi masalah kalau dikombinasikan dengan sistem multipartai. Dari hasil penelitiannya di 31 negara-negara Amerika latin, tidak ada satupun negara yang stabil demokrasinya dengan menerapkan sistem multipartai. Dari tahun 1967 – 1992, mainwarring menemukan bahwa semua negara yang menganut presidensialisme dan berhasil mempertahankan demikrasi ternyata menganut dwipartai (salah satunya amerika serikat).
Sistem dua partai terbukti berjalan dengan baik di negara yang memiliki komposisi masyarakat homogen (social homogenity). Sementara Indonesia merupakan negara yang memiliki tingakat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang kompleks. Sehingga ini yang tercermin dalam sistem multipartai yang tergambar secara politik. Dengan demikian sistem presidensial di Indonesia seakan tidak diterapkan secara ideal karena sistem ini harus berkompromi dengan situasi politik multipartai. Implikasinya, presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung harus melakukan koalisi terhadap partai-partai yang terdapat di DPR dalam mengisi kabinet.
Menurut Mahfud MD, ada empat ciri parlementarisme, pertama; kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol negara; kedua, pemerintahan diselenggarakan sebuah kabinet yang dipimpin seorang perdana menteri; ketiga, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan kebinet dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi; keempat, kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah daripada parlemen, karena kabinet bergantung pada parlemen.
Karekteristik utama presidensial secara umum merupakan kebalikan dari karakteristik sistem parlementer. Karakteristik sistem presidensial, basis legitimasi presiden bersumber pada rakyat, bukan pada parlemen, seperti halnya sistem parlementer. Sistem presidensial ditandai dengan penerapan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tetap. Dengan demikian presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen melainkan kepada rakyat. Kedua institusi ini bersifat mandiri dan serta dalam menjalankan fungsi checks and balances pemerintahan. Kedudukan presiden dalam sistem presidensial sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (singel chief executive). Presiden memiliki kekuasaan proregretif untuk membentuk pemerintahan dan berwenang mengangkat dan memberhentikan para memteri kabinet.
Karektiristi presidensial menurut Giovani Sartori dan Douglas V. Verney mengenai sistem presidensial. Sartori, mengemukakan tiga ciri; pertama, kepala pemerintahan (presiden dipilih secara langsung); kedua, dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan parlemen; ketiga, presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya. Sedangkan Verney mengajukan tiga karekteristik lainnya, pertama, kekuasaan eksekutif bersifat tidak terbagi (sole executive) jabatan kepala negara (head of the state) sekaligus kepala pemerintahan (head of government); kedua, tidak ada peleburan antara eksekutif dan legislatif, sehingga majelis tidak berubah menjadi parlemen dan presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis; ketiga, presiden (eksekutif) bertanggung jawab kepada konstitusi dan secara langsung kepada pemilih (rakyat).
Ball dan Petters juga merumuskan empat karekteristik presidensialisme yang sejalan dengan alur logika di atas. Pertama, posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan; kedua, presiden tidak dipilih parlemen, melainkan dipilih langsung oleh rakyat; ketiga, presiden bukan bagian dari lembaga parlemen, presiden tidak dapat diberhentikan parlemen, kecuali melalui mekanisme pamakzulan (impeachment); keempat, presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Heywood merumuskan beberap karekteristik sistem presidensial, pertama, kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat seorang presiden; kedua kekuasaan eksekutif berada ditangan presiden sedangkan kabinet yang terdiri atas menteri-menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada presiden; ketiga, terdapat pemisahan personel yang ada diparlemen dan di pemerintahan. Sedangkan Mainwaring, sistem presidensial memiliki dua ciri utama, pertama, pemilihan kepala pemerintahan (presiden) diselenggarakan secara terpisah dengan pemilihan anggota parlemen. Karena itu, hasil pemilu legislatif tidak menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua, kepala pemerintahan dipilih untuk memerintah dengan periode waktu tetap (fixed term).
Arend Lijpart mengemukakan tiga karekteristik sistem presidensial. Pertama, eksekutif dijalankan oleh satu orang (presden). Kedua, eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, masa jabatan presiden bersifat tetap dan tidak dapat diberhentikan berdasarkan pemungutan suara di parlemen.
Jimmly Asshidiqie, pertama, masa jabatan presiden dan wakil presiden telah ditentukan pasti, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun atau 7 tahun sehingga presiden dan wakil presiden tidak dapat dihentikan ditengah masa jabatannya karena alasan politik. Dibeberapa negara masa jabatan ini dibatasi dengan jelas, hanya satu kali masa jabatan atau dua kali masa jabatan. Kedua, presiden dan wakil presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung bertanggung jawab kepada rakyat. Ketiga, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung ataupun melalui mekanisme perantra tertentu yang tidak bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakikat lembaga permanen. Keempat, dalam hubungan dengan lembaga parlemen, presiden tidak tunduk kepada parlemen dan tidak dapa membubarkan parlemen. Sebaliknya parlemen juga tidak dapat menjatuhkan presiden dan membubarkan kabinet. Kelima, dalam sistem presidensial tidak mengenal pembedaan antara fungsi kepala pemerintahan dan kepala negara. Keenam, tanggung jawab pemerintahan berada dipundak presiden.
Dari basis teoritis diatas, ide utama sistem presidensial pada dasarnya terletak pada presiden sebagai poros kekuasaan pemerintahan, tetapi penerapannya tetap dalam kendali rakyat dalam keranggka demokrasi. Ada enam karekteristik pertama, basis legitimasi presiden berasal dari rakyat melalui pelembegaan sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tetap. Kedua, presiden bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat, sehingga presiden tidak dapat dimakzulkan secara politis oleh parlemen, mekanisme pemakzulan melalui Mahkamah Konstitusi. Ketiga, relasi presiden dan parlemen bersifat mandiri dan setara, hal ini melalui pelembagaan mekanisme checks and balances (ketiga poin 1 – 3 tersebut adalah struktur eksternal). Keempat, kekuasaan pemerintah tidak terbagi, yaitu pelembagaan kedudukan presiden sebagai kepala negara (head of the state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government), presiden sebagai singel chief executive. Kelima, jabatan presiden dan wakil presiden merupakan institusi tunggal sebagai konsekuensi dari pelembagaan sistem satu paket pencalonan presiden dan wakil presiden dalam pemilihan. Keenam, hak proregatif presiden membentuk kabinet dilembagakan, konsekuensi posisi politik presiden sebagai pimpinan tertinggi eksekutif yang bersifat independen dan mandiri dari parlemen. (ketiga poin 4 – 6 tersebut adalah striktur internal presidensial).

Dari Dilema ke Kompromi
Kedudukan presiden menjadi dilema dimana dalam menyusun kabinet. Presiden harus berkompromi dengan partai-partai politik yang mana terdapat keterwakilan dari partai politik di parlemen - DPR. Hal ini dilakukan karena tidak adanya pemenang mayoritas dalam pemilu, yang mengakibatkan kedudukan presiden semakin dilematis menghadapi partai politik.
Dengan demikian presiden harus mengakomodir kepentingan partai-partai politik tersebut kedalam kabinet pemerintahannya dengan tujuan mendapat dukungan politik dari partai-partai politik tersebut. Hal ini dikarenakan presiden terpilih (yudhoyono) berasal dari partai kecil dalam jumlah suara di DPR. Disini letak kegamangan presiden, disisi lain mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat tetapi dalam kenyataan presiden terkekang dengan keberadaan partai-partai politik yang dengan kepentingannya ingin mendudukan anggotanya didalam kabinet yang dibentuk oleh presiden. Dengan menghimpun kekuatan partai-partai politik di dalam kabinet, dengan demikian presiden mengharapkan suatu dukungan terhadap kebijakan pemerintah dari DPR. Dengan memposisikan menteri-menteri dari partai politik dengan menghitung jumlah kuris partai politik di DPR. Terutama partai pemegang kursi terbanyak di DPR. Sehingga mengakibatkan pendukung pemerintah menjadi mayoritas di DPR (komposisi hasil pemilu 2004, partai politik Golkar 128 kursi, Demokrat 55 kursi, PPP 58 kursi, PAN 53 kursi, PKB 52 kursi, PKS 45 kursi, PBB 11 kursi dan PKPI 1 kursi sehingga total 403 kursi yang dikuasai pendukung pemerintah di DPR). Ini yang mengkibatkan tereduksinya hak prerogatif presiden yang diakibatkan dari presiden yang terpilih merupakan presiden minoritas (presiden minority).
Ini yang menjadi dagangan partai politik, namun tidak ada jaminan dari partai politik yang telah mendudukan menteri di kabinet untuk mendukung presiden. Disisi lain menteri yang diangkat harus loyal kepada presiden namun disisi lain menteri juga harus tunduk pada partai (DPP). Sehingga menteri-menteri yang berasal dari partai politik memiliki pijakan dua kaki yang mengakibatkan tidak sepenuhnya mendukung presiden. Hal ini berbeda dengan menteri yang diangkat oleh presiden dari kalangan profesional, yang mana mereka tidak mempunyai kepentingan kepada pihak lain (partai politik) melainkan loyal kepada presiden.
Kedudukan presiden bisa mendapatkan gangguan dari DPR, sehingga presiden tidak dapat secara maksimal menjalankan roda pemerintahan diakibatkan kecemasan pemakzulan yang akan dilakukan oleh partai politik pendukung pemerintah sendiri. Namun presiden harus berkaca pada konstitusi, bahwa pemakzulan bukan dikarenakan alasan-alasan politis. Menurut konstitusi, pemakzulan dapat terjadi karena sejumlah alasan hukum. Pemakzulan dapat terjadi apabila presiden melakukan pengkhiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela dan tidak memenuhi syarat sebagai presiden. Ancaman pemakzulan ini terjadi dikarenakan koalisi yang dibangun oleh presiden rapuh.
 Hal ini dapat terjadi karena bisa terjadi pergerakan dari partai politik yang merasa dikecewakan oleh presiden terhadap kedudukan partai politik, apa lagi dengan akan terjadinya reshuffle kabinet. Inilah titik nadir dari posisi presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik. Hal ini diakibatkan dari komposisi koalisi kabinet yang tidak kuat dan rapuh dalam mendukung presiden dalam koalisi.
Hal ini diakibatkan sistem presidensialisme yang belum baik berjalan, personalitas dan gaya kepemimpinan presiden lemah, dan prilaku elite tidak sesuai dengan sistem presidensial. Sehingga penerapan sistem presidensial tidak dapat dilakukan dengan maksimal atau dengan istilah presidensialisme setengah hati (soft presidentialisme – weak president).
Adapun beberapa kompromi yang akan terjadi dalam praktik kombinasi presidensialisme dan multipartisme, yaitu empat kompromi eksternal dan empat kompromi internal kekuasan presiden. Potensi kompromi eksternal : pertama, adanya intervensi parpol terhadap presiden dan juga akomodasi presiden terhadap kepentingan parpol dalam proses pembentukan kabinet atau dalam hal pengangkatan/pemberhentian anggota kabinet. Kedua, munculnya polarisasi koalisi partai diparlemen dan karakter koalisi cenderung cair dan rapuh. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy). Keempat, perjalanan pemerintahan sering dibayangi ancaman impeachment dari parlemen dan presiden masih rentan dimakzulkan karena alasan politis.
Potensi kompromi internal : pertama, tereduksinya hak proregsif presiden, terutama kekuasaan presiden dalam menyusun kabinet. Kedua, kabinet yang terbentuk cenderung kabinet koalisi beberapa partai politik. Ketiga, adanya potensi dualisme loyalitas (split loyality) menteri dari unsur partai politik yang menyulut konflik kepentingan (conflict of interest), yakni satu sisi loyalitas terhadap presiden, disisi lain loyalitas kepada pimpinan partai. Keempat, terganggunya keharmonisan hubungan antara presiden dan wakil presiden, minimal akan terjadi keretakan terselubung.
Kesimpulan konseptual
Ukuran efektivitas pemerintahan presidensialisme itu dapat dikategorikan dalam empat tiplogi presidensialisme:
presidensialisme efektif, kondisi aspek institusional maupun noninstitusionalnya kuat (hard presidentialism-strong president). Prinsip-prinsip sistem presidensial dalam konstitusi bersinergi dengan sistem kepartaian (kompatibel) dan ditopang dengan gaya kepemimpinan presiden yang kuat. Struktur kepartaian juga kondusif, yaitu sistem dua partsi atau multipartai sederhana. Kontrol parlemen berjalan proporsional sesuai konstitusi (checks and balances). Koalisi partai diparlemen, ikatan koalisi yang terbangun relatif solid karena diikat ideologi dan platform partai. Situasi politik seperti ini, dinamika pemerintah akan mengarah pada menguatnya kelembagaan sistem presidensial.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden danparlemen, impeachment presiden, hak prerogatif presiden, komposisi kabinet, loyalitas menteri dan hubungan presiden dan wakil presiden.
presidensialisme akomodatif, kondisi ketika aspek institusionalnya (konstruksi konstitusi dan sistem kepartaian) kuat, tetapi aspek noninstitusional (personalitas presiden) lemah (hard presidentialism-weak president). Meskipun personalitas presiden lemah namun struktur konstitusinya kuat dan kepartaiannya kondusif. Kontrol parlemen juga berjalan sesuai dengan konstitusi. Koalisi partai diparlemen, ikatan koalisi yang terbangun relatif solid karena diikat ideologi dan platform partai. Kecenderungannya, pemerintahan presidensialisme seperti ini bercorak akomodatif. Namun, kondisi ini masih memungkinkan pemerintah bisa berjalan efektif.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden dan parpol, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan parlemen, impeachment presiden (potensi kompromi eksternal), hak prerogratif presiden, komposisi kabinet dan loyalitas menteri (potensi kompromi internal).
presidensialisme konfrontatif, kondisi ketika aspek institusionalnya (konstruksi konstitusi, desain institusi politik, dan sistem kepartaian) masih rapuh, tetapi personalitas dan gaya kepemimpinan presiden kuat (soft presidentialism-strong president). Personalitas presiden kuat, struktur konstitusinya lemah, sehingga struktur kepartaian juga tidak kondusif dengan sistem presidensial, yaitu sistem multipartai tidak sederhana (pluralisme ekstrem). Sehingga kontrol parlemen sangat kuat (legislativ heavy) sehingga menggangu pekerjaan pemerintahan. Koalisi partai diparlemen juga bersifat cair dan rapuh karena ideologi partai-partai sangat lemah dan pragmatis. Hubungan presiden dan parlemen konfrontatif. Konfrontasi politik presiden dan parlemen memungkinkan berakhir pada pemakzulan.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden dan parpol, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan parlemen, impeachment presiden (potensi kompromi eksternal), hak prerogratif presiden, komposisi kabinet, loyalitas menteri, dan hubungan presiden dan wakil presiden (potensi kompromi internal).
presidensialisme reduktif (setengah hati), kondisi ketika aspek institusionalnya (konstruksi konstitusi, desain institusi politik, dan sistem kepartaian) rapuh, dan personalitas presiden juga lemah (soft presidentialism-soft president). Kondisi ini terjadi apabila personalitas presiden lemah, struktur konstitusi rapuh (undang-undang dibawah konstitusi mereduksi prinsip presidensialisme dalam konstitusi), serta struktur politik kepartaian juga rapuh (multipartai ekstrem). Karena struktur politik kepartaian tidak kondusif dengan sistem presidensial (sistem multipartai tidak sederhana), kontrol parlemen menjadi kuatdan lembaga legislatif cenderung lebih kuat dari presiden (legislative heavy). Koalisi partai yang terbangun di parlemen sangat cair dan rapuh karena tidak diikat persamaan ideologi atau platform yang sama.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden dan parpol, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan parlemen (potensi kompromi eksternal),  impeachment presiden (struktur konstitusi dan desain institusi politik tidak merumuskan secara jelas mekanisme impeachment terhadap presiden hanya bisa dilakukan karena alasan hukum, sehingga kemungkinan impeachment secara politik tetap terbuka), hak prerogratif presiden, komposisi kabinet, loyalitas menteri, dan hubungan presiden dan wakil presiden (potensi kompromi internal).

Disisi lain penerapan multipartai di Indonesia memiliki empat karakteristik utama. Pertama, konvergensi dan konflik internal partai yang ditandai dengan selalu berubahnya jumlah parpol dan perpecahan konflik internal parpol. Kedua, suburnya oligarki elite dan personalisasi figur dalam organisasi parpol serta disloyalitas politisi dan sentralisasi struktur organisasi parpol. Ketiga konfigurasi kekuatan politik diparlemen terfragmentasi dengan jumlah kekuatan politik yang terpolarisasi sehingga sulitnya mencapai suara mayoritas. Keempat, koalisi partai dengan ikatan yang cair dan rapuh.
Berdasarkan aspek kompromi eksternal, kombinasi antara presidensialisme dengan multipartai mengalami penurunan kualitas dan implementasinya kurang berjalan efektif, karena prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi. Sehingga presidensialisme di era pemerintahan yudhoyono I termasuk dalam kategori presidensialisme reduktif atau presidensialisme setengah hati (soft presidentialism-weak president).
Berdasarkan aspek kompromi internal, pemerintahan Yudhoyono-kalla, mengalami penurunan kualitas dan implementasinya kurang berjalan efektif, karena prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi. kategori presidensialisme reduktif atau presidensialisme setengah hati (soft presidentialism-weak president).
Tipologi presidensialisme di era pemerintahan Yudhoyono-Kalla termasuk dalam kategori presidensialisme setengah hati. Sistemnya rapuh dan personalitas kepemimpinan presiden juga cenderung lemah (soft presidentialism-weak president).
Proyeksi
Sistem presidensialisme di era pemerintahan yudhoyono II dapat saja bergeser ke soft presidentialism-strong president apabila posisi politik presiden Yudhoyono semakin kuat secara politik dan personal kepemimpinan memiliki keberanian dan ketegasan sebagai singel chief executive.
Presidensialisme setengah hati mungkin bergeser ke preseidensialisme akomodatif, ikatan parpol pendukung pemerintah di DPR semakin kuat dan mekanisme checks and balances dapat berjalan optimal karena adanya penguatan institusional penyangga presidensialisme efektif.
Kemungkinan juga dapat bergeser ke preseidensialosme efekrif apabila persnolaitas dan gaya kepemimpinan presiden mengalami perubahan ke arah optimalisasi efektivitas kekuasaan presiden sesuai bangunan konstitusi.
Ada dua potensi kerawanan yang perlu diwaspadai pada arah pergeseran presidensialisme setengah hati era pemerintahan Yudhoyono II. Pertama, prinsip presidensialisme semakin tereduksi, bahkan mengalami kegagalan (failure presidentialism) yang berakhir pada pemakzulan presiden. Kedua, kekuasaan presiden semakin kuat, sebaliknya parlemen semakin melemah karena ketiadaan oposisi,   titik rawan ini berpotensi menuju otoritarian (over-presidentialism).
Proyeksi Efektivitas Pemerintahan Presiden Yudhoyono Periode II
Potensi-potensi kompromi, Pertama, proses pembentukan kabinet maupun reshuffle kabinet, partai-partai politik dapat mengurangi hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi dalam penyusunan kabinet. Kedua, presiden Yudhoyono diprediksi akan tetap konsisten membentuk kabinet koalisi partai-partai hingga akhir masa jabatannya. Walaupun koalisi bukan bagia dari karakteristik presidensialisme. Ketiga, dukungan koalisi parpol pendukung pemerintah berpotensi tidak efektif. Keempat, kontorl parlemen terhadap pemerintah akan tetap sangat kuat. Kelima, suatu saat keharmonisan hubungan antara presiden dan menteri atau antarmenteri dari partai berbeda akan terganggu. Keenam, potensi adanya dualisme loyalitas menteri dari unsur partai politik.
Rekomendasi
Ada tiga alternatif penataan ulang sistem politik dan pemerintahan presidensialisme setengah hati. Pertama, berpindah ke sistem parlementer. Kedua,  tidak menerapkan sistem presidensialisme secara murni tetapi memilih superpresidensialisme (semipresidensialisme). Ketiga merancang presidensialisme yang efektif dan stabil.
Merancang Presidensialisme Efektif
Ada sepuluh agenda penataan ulang desain institusi politik menuju presidensialisme efektif: pertama, mereformasi sistem pemilu (electoral system), yaitu penerapan sistem pemilu distrik atau sistem pemilu campuran (revisi UU Pemilu). Kedua, memperkecil besaran daerah pemilihan (disctrict magnitude) jika pilihannya bukan menerapkan sistem distrik tetapi campuran (revisi UU pemilu). Ketiga, menetapkan parliamentary threshold (revisi UU Pemilu). Keempat, menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif (pemilihan anggota DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden (UU Pemilu dan Pilpres disatukan). Kelima, menyederhanakan jumlah fraksi di DPR (revisi UU Susduk). Keenam, meregulasi koalisi permanen terdiri atas dua blok koalisi permanen di DPR, yaitu pendukung pemerintah dan oposisi (revisi UU Susduk dan UU Koalisi). Ketujuh, menguatkan kewenangan kelembagaan DPD (amandemen kelima UUD 1945 dan revisi UU Susduk). Kedelapan, mereformasi proses legislasi dan memberikan hak veto bagi presiden (amandemen kelima UUD 1945). Kesembilan, memberikan kejelasan wewenang wakil presiden dan pola relasi presiden dan wakil presiden (UU Lembaga Kepresidenan). Kesepuluh, mengatur pelarangan rangkap jabatan bagi para anggota  kabinet dengan jabatan di partai politik (UU Lembaga Kepresidenan atau UU Kementerian Negara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar