PRESIDENSIALISME SETENGAH HATI
Dari DILEMA Ke KOMPROMI
Buku : Hanta Yuda AR
Konstitusi Indonesia menegaskan
bahwa Indonesia menganut sistem presidensial (pasal 4 UUD 1945) dan mulai
diterapkan secara utuh pada pemilu 2004. Amandemen UUD 1945 telah berhasil
mengantarkan pemerintahan Indonesia menjadi sistem presidensial yang telah
murni. Dengan demikian ini merupakan ditandai dengan pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Dimana sebelumnya apabila
dibandingkan dengan sebelum amandemen UUD 1945, pemilihan presiden dan wakil
presiden secara tidak langsung melalui MPR yang banyak mengandung kelemahan dan
distorsi ketika dipraktekan sebelum amandemen UUD 1945. Dan sebelum
diamandemenkan, pemerintahan Indonesia sering dikatakan sebagai sistem
semipresidensial.
Perjalanan sistem presidensial Indonesia
Orde lama
Perjalanan sistem presidensial
mengalami pasang surut, dimana sistem presidensial pada saat UUD 1945 sebelum
perubahan telah ada setelah indonesia merdeka. Dimana kedudukan presiden
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, bersifat mandiri antara
presiden dan parlemen (adanya separation of power). DPR tidak dapat dibubarkan
oleh presiden dan sebaliknya, dan presiden mempunyai hak prerogatif dalam
membentuk kabinet, sehingga menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR.
Namun dengan dikeluarkan maklumat
wakiil presiden No. X, dengan demikian adanya checks and balances untuk
membatasi kekuasaan presiden. Dengan demikian terjadi perubahan dalam struktur
kekuasaan pemerintahan. Presiden hanya menjadi kepala negara sedangkan kepala
pemerintahan adalah perdana menteri. Dengan demikian telah terjadi perubahan
dimana sebelumnya Indonesia menganut sistem presidensil berubah menjadi sistem
parlementer.
Pelembagaan sistem parlementer
dimulai sejak terbentuknya kabinet parlementer yang pertama, yaitu kabinet
syahrir I pada tanggal 14 Desember 1945. Kemudian silih berganti kabinet
parlementer dipimpin perdana menteri.
Sistem parlementer juga
diterapkan pada masa RIS, kabinet RIS adalah sistem parlementer kabinet
dipimpin seorang perdana menteri. Sistem kelembegaan RIS menggunakan sistem
bikameral, yang terdiri dari senat dan DPR, tetapi tanpa jabatan wakil
presiden.
Republik Indonesia Serikat (RIS)
dibubarkan tanggal 17 agustus 1945. Konstitusi yang berlaku UUDS 1950 yang juga
masih bercorak parlementer. Tidak menganut sistem bikameral dan senat
dibubarkan.UUDS 1950 menegaskan bahwa kepala negara adalah presiden dan kepala
pemerintahan adalah perdana menteri. Pada masa berlakunya UUDS 1950, sistem
presidensial tidak terlembagakan. Kemudia presiden soekarno mengeluarkan Dekrit
untuk kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 juli 1959.
Orde Baru
Pada masa orde baru indonesia
kembali dalam sistem presidensil, dan terdapat dua ciri yang diterapkan oleh
presiden soeharto, pertama, presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Kedua, kekuasaan dan hak proregatif presiden untuk mengangkat dan
memberhentikan anggota kabinet.
Namun terdapat kepincangan dalam
penerapan sistem presidensil pada masa orde baru, yaitu pertama, sistem
presidensial yang diterapkan tanpa mekanisme checks and balances. Kedua, masa
jabatan presiden tidak tetap dan tanpa pembatasan. Ketiga, fungsi wakil
presiden sangat inferior dihadapan presiden.
Dalam masa orde baru, sistem
presidensial berjalan dengan tidak ada pemilihan presiden secara langsung, dan
tidak adanya checks and balances antara presiden dan DPR. Sehingga pemurnian
sistem presidensial tidak dapat dilaksanakan karena kekuasaan berpusat pada
presiden.
Namun pada kenyataan, sistem
tersebut lebih mengarah kepada sistem parlementer. Hal ini dapat dilihat dengan
beberapa pemberhentian presiden, yaitu presiden Soekarno, Soeharto dan
Abdulrrahman Wahid. Semua presiden Indonesia tersebut diberhentikan dengan alasan politk yang mana
diawali dengan gerakan di dalam parlemen yaitu DPR. Dalam sistem presidensial
rancangan mekanisme checks and balances
sering kali menjadi persoalan utama dalam sistem presidensial. Hal ini tidak
terlihat dalam era orde lama dan orde baru.
Era reformasi
Pada awal era reformasi, presiden
habibie belum menyentuh aspek implementasi sepenuhnya. Karena merupakan
pemerintahan transisi. Namun proses pemurnian sistem presidensial sudah mulai
muncul dengan diselenggarakan pemilu pada tahun 1999.
MPR mengangkat Gus Dur sebagai
presiden tanggal 19 oktober 1999, dan kemudian pada tanggal 23 juli MPR
mengangkat Megawati sebagai presiden. Ada dua hal yang mendasar dalam
pemerintahan kedua presiden tersebut, melalui amandemen UUD 1945. Pertama
penguatan fungsi checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Kedua, adanya pembatasan masa jabatan presiden (pasal 7 UUD 1945)
Amandemen konstitusi dan purifikasi presidensialisme
Ada lima hal substansi perubahan yang memperkuat sistem presidensial. Pertama, pembatasan masa jabatan
presiden. Kedua, revitalisasi
kemandirian lembaga parlemen melalui fungsi checks and balances. Ketiga, pelembagaan sistem presidensial
secsara langsung. Keempat, proses
pencalonan presiden dan wakil presiden dalam satu paket. Kelima, presiden tidak bisa dijatuhkan dengan alasan politis.
Pada era reformasi ini, sistem checks and balances diterapkan sehingga
ada kecenderungan dominasi bergeser dari lembaga kepresidenan ke parlemen.
Dapat dilihat dengan dimana dalam menunjuk seorang duta besar, presiden harus
mendapatkan persetujuan dari DPR.
Ketidakstabilan pemerintah dalam
sistem presidensial diyakini semakin kentara bila dipadukan dengan sistem
multipartai. Perpaduan ini diyakini akan cenderung melahirkan presiden
minoritas (minority presidential) dan
pemerintahan terbelah (divided government).
Pendapat Ahli tentang sistem presidensial
Menurut Scott Mainwaring, sistem presidensial tidak otomatis menghambat
kinerja dan stabilitas demokrasi disuatu negara. Presidensialisme menjadi masalah
kalau dikombinasikan dengan sistem multipartai. Dari hasil penelitiannya di 31
negara-negara Amerika latin, tidak ada satupun negara yang stabil demokrasinya
dengan menerapkan sistem multipartai. Dari tahun 1967 – 1992, mainwarring menemukan bahwa semua negara
yang menganut presidensialisme dan berhasil mempertahankan demikrasi ternyata
menganut dwipartai (salah satunya amerika serikat).
Sistem dua partai terbukti
berjalan dengan baik di negara yang memiliki komposisi masyarakat homogen (social homogenity). Sementara Indonesia
merupakan negara yang memiliki tingakat kemajemukan masyarakat yang sangat
tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang kompleks. Sehingga ini yang tercermin
dalam sistem multipartai yang tergambar secara politik. Dengan demikian sistem
presidensial di Indonesia seakan tidak diterapkan secara ideal karena sistem
ini harus berkompromi dengan situasi politik multipartai. Implikasinya,
presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung harus melakukan koalisi
terhadap partai-partai yang terdapat di DPR dalam mengisi kabinet.
Menurut Mahfud MD, ada empat ciri parlementarisme, pertama; kepala negara
tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol
negara; kedua, pemerintahan diselenggarakan sebuah kabinet yang dipimpin
seorang perdana menteri; ketiga, kabinet bertanggung jawab
kepada parlemen dan kebinet dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi; keempat,
kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah daripada parlemen, karena kabinet
bergantung pada parlemen.
Karekteristik utama presidensial
secara umum merupakan kebalikan dari karakteristik sistem parlementer.
Karakteristik sistem presidensial, basis legitimasi presiden bersumber pada
rakyat, bukan pada parlemen, seperti halnya sistem parlementer. Sistem
presidensial ditandai dengan penerapan sistem pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tetap. Dengan demikian
presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen melainkan kepada rakyat. Kedua
institusi ini bersifat mandiri dan serta dalam menjalankan fungsi checks and
balances pemerintahan. Kedudukan presiden dalam sistem presidensial sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan (singel
chief executive). Presiden memiliki kekuasaan proregretif untuk membentuk
pemerintahan dan berwenang mengangkat dan memberhentikan para memteri kabinet.
Karektiristi presidensial menurut
Giovani Sartori dan Douglas V. Verney
mengenai sistem presidensial. Sartori, mengemukakan tiga ciri; pertama,
kepala pemerintahan (presiden dipilih secara langsung); kedua, dalam masa
jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan parlemen; ketiga, presiden memimpin
secara langsung pemerintahan yang dibentuknya. Sedangkan Verney mengajukan tiga
karekteristik lainnya, pertama, kekuasaan eksekutif
bersifat tidak terbagi (sole executive)
jabatan kepala negara (head of the state)
sekaligus kepala pemerintahan (head of
government); kedua, tidak ada peleburan antara eksekutif dan legislatif,
sehingga majelis tidak berubah menjadi parlemen dan presiden tidak dapat
membubarkan atau memaksa majelis; ketiga, presiden (eksekutif) bertanggung jawab kepada
konstitusi dan secara langsung kepada pemilih (rakyat).
Ball dan Petters juga merumuskan empat karekteristik
presidensialisme yang sejalan dengan alur logika di atas. Pertama, posisi presiden
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan; kedua, presiden tidak
dipilih parlemen, melainkan dipilih langsung oleh rakyat; ketiga, presiden bukan
bagian dari lembaga parlemen, presiden tidak dapat diberhentikan parlemen,
kecuali melalui mekanisme pamakzulan (impeachment);
keempat,
presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Heywood merumuskan beberap karekteristik sistem presidensial, pertama,
kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat seorang presiden; kedua
kekuasaan eksekutif berada ditangan presiden sedangkan kabinet yang terdiri
atas menteri-menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden; ketiga, terdapat pemisahan personel yang ada diparlemen dan di
pemerintahan. Sedangkan Mainwaring,
sistem presidensial memiliki dua ciri utama, pertama, pemilihan kepala
pemerintahan (presiden)
diselenggarakan secara terpisah dengan pemilihan anggota parlemen. Karena itu,
hasil pemilu legislatif tidak menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung. Kedua,
kepala pemerintahan dipilih untuk memerintah dengan periode waktu tetap (fixed term).
Arend Lijpart mengemukakan tiga karekteristik sistem presidensial. Pertama,
eksekutif dijalankan oleh satu orang (presden). Kedua, eksekutif dipilih
langsung oleh rakyat. Ketiga, masa jabatan presiden
bersifat tetap dan tidak dapat diberhentikan berdasarkan pemungutan suara di
parlemen.
Jimmly Asshidiqie, pertama, masa jabatan presiden dan
wakil presiden telah ditentukan pasti, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun atau
7 tahun sehingga presiden dan wakil presiden tidak dapat dihentikan ditengah
masa jabatannya karena alasan politik. Dibeberapa negara masa jabatan ini
dibatasi dengan jelas, hanya satu kali masa jabatan atau dua kali masa jabatan.
Kedua,
presiden dan wakil presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik
tertentu yang biasa dikenal sebagai parlemen, melainkan langsung bertanggung
jawab kepada rakyat. Ketiga, presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung ataupun melalui mekanisme perantra tertentu yang tidak
bersifat perwakilan permanen sebagaimana hakikat lembaga permanen. Keempat,
dalam hubungan dengan lembaga parlemen, presiden tidak tunduk kepada parlemen
dan tidak dapa membubarkan parlemen. Sebaliknya parlemen juga tidak dapat
menjatuhkan presiden dan membubarkan kabinet. Kelima, dalam sistem
presidensial tidak mengenal pembedaan antara fungsi kepala pemerintahan dan
kepala negara. Keenam, tanggung jawab pemerintahan berada dipundak presiden.
Dari basis teoritis diatas, ide
utama sistem presidensial pada dasarnya terletak pada presiden sebagai poros
kekuasaan pemerintahan, tetapi penerapannya tetap dalam kendali rakyat dalam
keranggka demokrasi. Ada enam karekteristik pertama, basis legitimasi
presiden berasal dari rakyat melalui pelembegaan sistem pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat dengan masa jabatan tetap. Kedua, presiden
bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat, sehingga presiden tidak dapat
dimakzulkan secara politis oleh parlemen, mekanisme pemakzulan melalui Mahkamah
Konstitusi. Ketiga, relasi presiden dan parlemen bersifat mandiri dan
setara, hal ini melalui pelembagaan mekanisme checks and balances (ketiga poin 1 – 3 tersebut adalah struktur
eksternal). Keempat, kekuasaan pemerintah tidak terbagi, yaitu pelembagaan
kedudukan presiden sebagai kepala negara (head
of the state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (head of government), presiden sebagai singel chief executive. Kelima, jabatan presiden dan wakil
presiden merupakan institusi tunggal sebagai konsekuensi dari pelembagaan
sistem satu paket pencalonan presiden dan wakil presiden dalam pemilihan. Keenam,
hak proregatif presiden membentuk kabinet dilembagakan, konsekuensi posisi
politik presiden sebagai pimpinan tertinggi eksekutif yang bersifat independen
dan mandiri dari parlemen. (ketiga poin 4
– 6 tersebut adalah striktur internal presidensial).
Dari Dilema ke Kompromi
Kedudukan presiden menjadi dilema
dimana dalam menyusun kabinet. Presiden harus berkompromi dengan partai-partai
politik yang mana terdapat keterwakilan dari partai politik di parlemen - DPR.
Hal ini dilakukan karena tidak adanya pemenang mayoritas dalam pemilu, yang
mengakibatkan kedudukan presiden semakin dilematis menghadapi partai politik.
Dengan demikian presiden harus
mengakomodir kepentingan partai-partai politik tersebut kedalam kabinet
pemerintahannya dengan tujuan mendapat dukungan politik dari partai-partai
politik tersebut. Hal ini dikarenakan presiden terpilih (yudhoyono) berasal
dari partai kecil dalam jumlah suara di DPR. Disini letak kegamangan presiden,
disisi lain mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh
rakyat tetapi dalam kenyataan presiden terkekang dengan keberadaan
partai-partai politik yang dengan kepentingannya ingin mendudukan anggotanya
didalam kabinet yang dibentuk oleh presiden. Dengan menghimpun kekuatan
partai-partai politik di dalam kabinet, dengan demikian presiden mengharapkan
suatu dukungan terhadap kebijakan pemerintah dari DPR. Dengan memposisikan
menteri-menteri dari partai politik dengan menghitung jumlah kuris partai
politik di DPR. Terutama partai pemegang kursi terbanyak di DPR. Sehingga mengakibatkan
pendukung pemerintah menjadi mayoritas di DPR (komposisi hasil pemilu 2004,
partai politik Golkar 128 kursi, Demokrat 55 kursi, PPP 58 kursi, PAN 53 kursi,
PKB 52 kursi, PKS 45 kursi, PBB 11 kursi dan PKPI 1 kursi sehingga total 403
kursi yang dikuasai pendukung pemerintah di DPR). Ini yang mengkibatkan
tereduksinya hak prerogatif presiden yang diakibatkan dari presiden yang
terpilih merupakan presiden minoritas (presiden
minority).
Ini yang menjadi dagangan partai
politik, namun tidak ada jaminan dari partai politik yang telah mendudukan
menteri di kabinet untuk mendukung presiden. Disisi lain menteri yang diangkat
harus loyal kepada presiden namun disisi lain menteri juga harus tunduk pada
partai (DPP). Sehingga menteri-menteri yang berasal dari partai politik
memiliki pijakan dua kaki yang mengakibatkan tidak sepenuhnya mendukung
presiden. Hal ini berbeda dengan menteri yang diangkat oleh presiden dari
kalangan profesional, yang mana mereka tidak mempunyai kepentingan kepada pihak
lain (partai politik) melainkan loyal kepada presiden.
Kedudukan presiden bisa
mendapatkan gangguan dari DPR, sehingga presiden tidak dapat secara maksimal
menjalankan roda pemerintahan diakibatkan kecemasan pemakzulan yang akan
dilakukan oleh partai politik pendukung pemerintah sendiri. Namun presiden
harus berkaca pada konstitusi, bahwa pemakzulan bukan dikarenakan alasan-alasan
politis. Menurut konstitusi, pemakzulan dapat terjadi karena sejumlah alasan
hukum. Pemakzulan dapat terjadi apabila presiden melakukan pengkhiatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela dan tidak
memenuhi syarat sebagai presiden. Ancaman pemakzulan ini terjadi dikarenakan
koalisi yang dibangun oleh presiden rapuh.
Hal ini dapat terjadi karena bisa terjadi
pergerakan dari partai politik yang merasa dikecewakan oleh presiden terhadap
kedudukan partai politik, apa lagi dengan akan terjadinya reshuffle kabinet. Inilah
titik nadir dari posisi presiden untuk melakukan kompromi-kompromi politik. Hal
ini diakibatkan dari komposisi koalisi kabinet yang tidak kuat dan rapuh dalam
mendukung presiden dalam koalisi.
Hal ini diakibatkan sistem
presidensialisme yang belum baik berjalan, personalitas dan gaya kepemimpinan
presiden lemah, dan prilaku elite tidak sesuai dengan sistem presidensial.
Sehingga penerapan sistem presidensial tidak dapat dilakukan dengan maksimal
atau dengan istilah presidensialisme setengah hati (soft presidentialisme – weak president).
Adapun beberapa kompromi yang
akan terjadi dalam praktik kombinasi presidensialisme dan multipartisme, yaitu
empat kompromi eksternal dan empat kompromi internal kekuasan presiden. Potensi
kompromi eksternal : pertama, adanya intervensi parpol
terhadap presiden dan juga akomodasi presiden terhadap kepentingan parpol dalam
proses pembentukan kabinet atau dalam hal pengangkatan/pemberhentian anggota
kabinet. Kedua, munculnya polarisasi koalisi partai diparlemen dan karakter
koalisi cenderung cair dan rapuh. Ketiga, kontrol parlemen terhadap
pemerintah cenderung berlebihan (legislative
heavy). Keempat, perjalanan pemerintahan sering dibayangi ancaman impeachment
dari parlemen dan presiden masih rentan dimakzulkan karena alasan politis.
Potensi kompromi internal
: pertama,
tereduksinya hak proregsif presiden, terutama kekuasaan presiden dalam menyusun
kabinet. Kedua, kabinet yang terbentuk cenderung kabinet koalisi
beberapa partai politik. Ketiga, adanya potensi dualisme loyalitas
(split loyality) menteri dari unsur
partai politik yang menyulut konflik kepentingan (conflict of interest), yakni satu sisi loyalitas terhadap presiden,
disisi lain loyalitas kepada pimpinan partai. Keempat, terganggunya
keharmonisan hubungan antara presiden dan wakil presiden, minimal akan terjadi
keretakan terselubung.
Kesimpulan konseptual
Ukuran efektivitas pemerintahan
presidensialisme itu dapat dikategorikan dalam empat tiplogi presidensialisme:
presidensialisme efektif, kondisi aspek institusional maupun
noninstitusionalnya kuat (hard
presidentialism-strong president). Prinsip-prinsip sistem presidensial
dalam konstitusi bersinergi dengan sistem kepartaian (kompatibel) dan ditopang dengan gaya kepemimpinan presiden yang
kuat. Struktur kepartaian juga kondusif, yaitu sistem dua partsi atau
multipartai sederhana. Kontrol parlemen berjalan proporsional sesuai konstitusi
(checks and balances). Koalisi partai
diparlemen, ikatan koalisi yang terbangun relatif solid karena diikat ideologi
dan platform partai. Situasi politik seperti ini, dinamika pemerintah akan
mengarah pada menguatnya kelembagaan sistem presidensial.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet, konfigurasi parlemen dan
pola ikatan koalisi, hubungan presiden danparlemen, impeachment presiden, hak
prerogatif presiden, komposisi kabinet, loyalitas menteri dan hubungan presiden
dan wakil presiden.
presidensialisme akomodatif, kondisi ketika aspek institusionalnya
(konstruksi konstitusi dan sistem
kepartaian) kuat, tetapi aspek noninstitusional (personalitas presiden) lemah (hard
presidentialism-weak president). Meskipun personalitas presiden lemah namun
struktur konstitusinya kuat dan kepartaiannya kondusif. Kontrol parlemen juga
berjalan sesuai dengan konstitusi. Koalisi partai diparlemen, ikatan koalisi
yang terbangun relatif solid karena diikat ideologi dan platform partai.
Kecenderungannya, pemerintahan presidensialisme seperti ini bercorak
akomodatif. Namun, kondisi ini masih memungkinkan pemerintah bisa berjalan
efektif.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden
dan parpol, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan
parlemen, impeachment presiden (potensi
kompromi eksternal), hak prerogratif presiden, komposisi kabinet dan
loyalitas menteri (potensi kompromi
internal).
presidensialisme konfrontatif, kondisi ketika aspek
institusionalnya (konstruksi konstitusi, desain institusi politik, dan sistem
kepartaian) masih rapuh, tetapi personalitas dan gaya kepemimpinan presiden
kuat (soft presidentialism-strong president). Personalitas presiden kuat,
struktur konstitusinya lemah, sehingga struktur kepartaian juga tidak kondusif
dengan sistem presidensial, yaitu sistem multipartai tidak sederhana
(pluralisme ekstrem). Sehingga kontrol parlemen sangat kuat (legislativ heavy)
sehingga menggangu pekerjaan pemerintahan. Koalisi partai diparlemen juga
bersifat cair dan rapuh karena ideologi partai-partai sangat lemah dan
pragmatis. Hubungan presiden dan parlemen konfrontatif. Konfrontasi politik presiden
dan parlemen memungkinkan berakhir pada pemakzulan.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden
dan parpol, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan
parlemen, impeachment presiden (potensi
kompromi eksternal), hak prerogratif presiden, komposisi kabinet, loyalitas
menteri, dan hubungan presiden dan wakil presiden (potensi kompromi internal).
presidensialisme reduktif (setengah hati), kondisi ketika aspek
institusionalnya (konstruksi konstitusi, desain institusi politik, dan sistem
kepartaian) rapuh, dan personalitas presiden juga lemah (soft
presidentialism-soft president). Kondisi ini terjadi apabila personalitas
presiden lemah, struktur konstitusi rapuh (undang-undang dibawah konstitusi
mereduksi prinsip presidensialisme dalam konstitusi), serta struktur politik
kepartaian juga rapuh (multipartai ekstrem). Karena struktur politik kepartaian
tidak kondusif dengan sistem presidensial (sistem multipartai tidak sederhana),
kontrol parlemen menjadi kuatdan lembaga legislatif cenderung lebih kuat dari
presiden (legislative heavy). Koalisi partai yang terbangun di parlemen sangat
cair dan rapuh karena tidak diikat persamaan ideologi atau platform yang sama.
Indikatornya adalah, pembentukan kabinet dan pola hubungan presiden
dan parpol, konfigurasi parlemen dan pola ikatan koalisi, hubungan presiden dan
parlemen (potensi kompromi eksternal), impeachment presiden (struktur konstitusi dan desain institusi politik tidak merumuskan
secara jelas mekanisme impeachment terhadap presiden hanya bisa dilakukan
karena alasan hukum, sehingga kemungkinan impeachment secara politik tetap
terbuka), hak prerogratif presiden, komposisi kabinet, loyalitas menteri,
dan hubungan presiden dan wakil presiden (potensi
kompromi internal).
Disisi lain penerapan multipartai
di Indonesia memiliki empat karakteristik utama. Pertama, konvergensi dan
konflik internal partai yang ditandai dengan selalu berubahnya jumlah parpol
dan perpecahan konflik internal parpol. Kedua, suburnya oligarki elite dan
personalisasi figur dalam organisasi parpol serta disloyalitas politisi dan
sentralisasi struktur organisasi parpol. Ketiga konfigurasi kekuatan politik
diparlemen terfragmentasi dengan jumlah kekuatan politik yang terpolarisasi
sehingga sulitnya mencapai suara mayoritas. Keempat, koalisi partai dengan
ikatan yang cair dan rapuh.
Berdasarkan aspek kompromi
eksternal, kombinasi antara presidensialisme dengan multipartai mengalami
penurunan kualitas dan implementasinya kurang berjalan efektif, karena
prinsip-prinsip presidensialisme mengalami reduksi. Sehingga presidensialisme
di era pemerintahan yudhoyono I termasuk dalam kategori presidensialisme
reduktif atau presidensialisme setengah hati (soft presidentialism-weak president).
Berdasarkan aspek kompromi
internal, pemerintahan Yudhoyono-kalla, mengalami penurunan kualitas dan
implementasinya kurang berjalan efektif, karena prinsip-prinsip
presidensialisme mengalami reduksi. kategori presidensialisme reduktif atau
presidensialisme setengah hati (soft
presidentialism-weak president).
Tipologi presidensialisme di era
pemerintahan Yudhoyono-Kalla termasuk dalam kategori presidensialisme setengah
hati. Sistemnya rapuh dan personalitas kepemimpinan presiden juga cenderung
lemah (soft presidentialism-weak president).
Proyeksi
Sistem presidensialisme di era
pemerintahan yudhoyono II dapat saja bergeser ke soft presidentialism-strong
president apabila posisi politik presiden Yudhoyono semakin kuat secara politik
dan personal kepemimpinan memiliki keberanian dan ketegasan sebagai singel
chief executive.
Presidensialisme setengah hati
mungkin bergeser ke preseidensialisme akomodatif, ikatan parpol pendukung
pemerintah di DPR semakin kuat dan mekanisme checks and balances dapat berjalan
optimal karena adanya penguatan institusional penyangga presidensialisme
efektif.
Kemungkinan juga dapat bergeser
ke preseidensialosme efekrif apabila persnolaitas dan gaya kepemimpinan
presiden mengalami perubahan ke arah optimalisasi efektivitas kekuasaan
presiden sesuai bangunan konstitusi.
Ada dua potensi kerawanan yang
perlu diwaspadai pada arah pergeseran presidensialisme setengah hati era
pemerintahan Yudhoyono II. Pertama, prinsip presidensialisme semakin tereduksi,
bahkan mengalami kegagalan (failure presidentialism) yang berakhir pada
pemakzulan presiden. Kedua, kekuasaan presiden semakin kuat, sebaliknya
parlemen semakin melemah karena ketiadaan oposisi, titik rawan ini berpotensi menuju
otoritarian (over-presidentialism).
Proyeksi Efektivitas Pemerintahan Presiden Yudhoyono Periode II
Potensi-potensi kompromi,
Pertama, proses pembentukan kabinet maupun reshuffle kabinet, partai-partai
politik dapat mengurangi hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi
dalam penyusunan kabinet. Kedua, presiden Yudhoyono diprediksi akan tetap
konsisten membentuk kabinet koalisi partai-partai hingga akhir masa jabatannya.
Walaupun koalisi bukan bagia dari karakteristik presidensialisme. Ketiga,
dukungan koalisi parpol pendukung pemerintah berpotensi tidak efektif. Keempat,
kontorl parlemen terhadap pemerintah akan tetap sangat kuat. Kelima, suatu saat
keharmonisan hubungan antara presiden dan menteri atau antarmenteri dari partai
berbeda akan terganggu. Keenam, potensi adanya dualisme loyalitas menteri dari
unsur partai politik.
Rekomendasi
Ada tiga alternatif penataan
ulang sistem politik dan pemerintahan presidensialisme setengah hati. Pertama,
berpindah ke sistem parlementer. Kedua,
tidak menerapkan sistem presidensialisme secara murni tetapi memilih
superpresidensialisme (semipresidensialisme). Ketiga merancang presidensialisme
yang efektif dan stabil.
Merancang Presidensialisme Efektif
Ada sepuluh agenda penataan ulang
desain institusi politik menuju presidensialisme efektif: pertama, mereformasi
sistem pemilu (electoral system), yaitu penerapan sistem pemilu distrik atau
sistem pemilu campuran (revisi UU Pemilu). Kedua, memperkecil besaran daerah
pemilihan (disctrict magnitude) jika pilihannya bukan menerapkan sistem distrik
tetapi campuran (revisi UU pemilu). Ketiga, menetapkan parliamentary threshold
(revisi UU Pemilu). Keempat, menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif
(pemilihan anggota DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden (UU Pemilu dan
Pilpres disatukan). Kelima, menyederhanakan jumlah fraksi di DPR (revisi UU
Susduk). Keenam, meregulasi koalisi permanen terdiri atas dua blok koalisi
permanen di DPR, yaitu pendukung pemerintah dan oposisi (revisi UU Susduk dan
UU Koalisi). Ketujuh, menguatkan kewenangan kelembagaan DPD (amandemen kelima
UUD 1945 dan revisi UU Susduk). Kedelapan, mereformasi proses legislasi dan
memberikan hak veto bagi presiden (amandemen kelima UUD 1945). Kesembilan,
memberikan kejelasan wewenang wakil presiden dan pola relasi presiden dan wakil
presiden (UU Lembaga Kepresidenan). Kesepuluh, mengatur pelarangan rangkap
jabatan bagi para anggota kabinet dengan
jabatan di partai politik (UU Lembaga Kepresidenan atau UU Kementerian Negara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar