POLITIK HUKUM DI ERA GLOBALISASI
Pengaruh Globalisasi Terhadap Sistem Hukum dan Produk Hukum Indonesia
Pendahuluan
Tantangan Indonesia sekarang dan ke depan adalah
bagaimana bangsa kita dapat beradaptasi dengan perubahan jaman. Dunia tempat
kita berpijak telah banyak berubah, dan akan terus berubah. Dulu, Bung Hatta
pernah melukiskan tantangan politik luar negeri sebagai “mendayung di antara
dua karang”, dalam arti antara Blok Barat dan Blok Timur. Kini, saat persaingan
Blok Barat dan Blok Timur sudah hilang, diplomasi Indonesia di Abad ke-21
menghadapi dunia yang jauh lebih kompleks, ibarat “mengarungi samudera yang
penuh gejolak”. Sebagai anggota United Nations Climate Change Conference
(UNCCC), kita juga menjadi pelopor dalam upaya penyelamatan bumi dari perubahan
iklim.[1]
Dalam era globalisasi ini, indonesia ikut serta
dalam perkembangan duni dan hubungan internasional sesuai dengan yang
diamanatkan oleh UUD 1945. Dimana Indonesia memainkan peranannya dalam
masalah-masalah global, menjaga perdamaina dunia. Juga dalam hubungan regional
dengan negara-negara asia tenggara dan juga asia-pasifik. Indonesia juga
termasuk dalam negara anggota G-20 dan anggota OKI. Dimana dalam sektor
ekonomi, indonesia dapat berkontribusi.
Globalisasi perpengaruh dengan adanya pluralisme
dan terbukanya hubungan-hubungan dengan negara-negara di dunia. Namun dengan
makin terbukanya hubungan antar negara dunia, Indonesia harus tetap menjaga
kepentingan nasional.
Dalam pidato kenegaraan diatas, dapat kita lihat
bagaimana peran Indonesia dalam dunia internasional. Kedudukan Indonesia
sebagai salah satu negara dunia, memainkan perannya baik dalam bidang politk,
ekonomi dan isu-isu global lainnya. Kedudukan Indoinesia sebagai warga dunia,
dalam hubungan internasional tidak dapat terlepas dari pengaruh globalisasi
yang melanda dunia. Hampir seluruh sektor kehidupan sekarang ini sudah di
pengaruhi dari globalisasi.
Peranan pemerintah bukan saja memfokuskan diri
dalam hubungan internasional dalam perkembangan dunia. Namun kedudukan yang
paling penting adalah masyarakat Indonesia yang akan berdampak pada
perkembangan hukum dan ekonomi dalam masyarakat.
Pengaruh globalisasi sangat kuat sehingga
mempengaruhi dalam pembentukan peraturan perundangan. Dengan kuatnya tekanan
negara-negara maju terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Memberikan
dampak dalam proses pembentukan
undang-undang. Adanya pengaruh dari
negara-negara maju, tetapi juga kuatnya pengaruh dari lembaga-lembaga
internasional dalam bidang ekonomi. Sehingga kita dapat lihat pengaruhnya dalam
undang-undang yang dibuat oleh pemerintah.
Globalisasi di Dunia
Globalisasi memberi
pengaruh dalam berbagai kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan. Pengaruh globalisasi terhadap ideologi dan politik adalah akan semakin
menguatnya pengaruh ideologi liberal dalam perpolitikan negara-negara
berkembang yang ditandai oleh menguatnya ide kebebasan dan demokrasi. Pengaruh
globalisasi terhadap bidang politik, antara lain membawa internasionalisasi dan
penyebaran pemikiran serta nilai-nilai demokratis, termasuk di dalamnya masalah
hak asasi manusia. Disisi lain ada pula masuknya pengaruh ideologi lain seperti
ideologi Islam yang berasal dari Timur Tengah. Implikasinya adalah negara
semakin terbuka dalam pertemuan berbagai ideologi dan kepentingan politik
negara.[2]
Meningkatnya ketergantungan pada pasar selama
rezim globalisasi juga tidak dapat dipisahkan dari gerakan ekonomi liberalisme
yang berasal dari "Konsensus Washington" yang menghendaki reduksi
secara sistematis terhadap peran Negara dalam sistem ekonomi nasional hingga ke
titik minimal. Neoliberalism pada umumnya juga berpihak pada tekanan politik
multilateral melalui organisasi-organisasi internasional atau perjanjian
perangkat seperti WTO, Bank Dunia, IMF atau ADB. Neoliberalism berpihak pada
privatisasi dan mengukur keberhasilan pembangunan berdasarkan keuntungan
ekonomi yang didapat secara keseluruhan. Namun dalam prakteknya kontrol atas
kebijakan ekonomi politik dalam negeri tidak sepenuhnya terlepas dari kontrol Negara
dan Negara tetap melakukan intervensi politis atas kebijakan-kebijakan ekonomi.
Bahkan aktor-aktor dalam pasar internasional juga sesungguhnya merupakan
representasi kepentingan negara-negara industri, dan bukan digerakkan oleh
'invisible hand' (kepentingan pasar).
Pengaruh globalisasi terhadap negara-negara di dunia
semakin tidak dapat dicegah. Dalam perkembangan sekarang ini, produk hukum di
negara-negara dunia mulai bercampur dalam sistem hukum common law dan civil
law. Hal ini terjadi akibat dari kebutuhan dari negara-negara dalam melakukan
hubungan kerja sama dalam bidang ekonomi. Di eropa yang terlebih dahulu telah
terjadi mix legal tradition, dimana dengan muncul masyarakat ekonomi eropa
(MEE). Dampaknya terhadap sistem hukum di negara-negara eropa yang berbeda
dikarenakan adanya dua sistem yang dikenal yaitu common law dan sistem law.
Namun dengan adanya uni eropa sehingga hukum menjadi tunggal, bersifat khusus
serta merupakan entitas politik yang telah melahirkan sistem hukum yang unik.
Terciptanya sebuah sistem regional dan merupakan tatanan hukum yang berdiri
sendiri[3].
Manakala ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi
hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului
atau diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat
Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan
globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan
terciptanya blok-blok perdagangan baru. Bergabung dengan WTO dan kerjasama
ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis. memperbaharui
mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum. Prinsip-prinsip “Most
-Favoured - Nation.” “Transparency,’’ “National Treatment..’ “Non -
Dicrimination” menjadi dasar WTO dan blok ekonomi regional.[4]
Teori globalisasi hukum membuktikan bahwa dalam
perspektif hukum, nilai neoliberal tidak pernah masuk sendirian. Khususnya
nilai neoliberal dari The Washington Consensus masuk di Indonesia sebagai
bagian dari Globalisasi Ketiga, bersamaan dengan peraturan prudensial, good
corporate governance, demokratisasi, dan reformasi di bidang keuangan negara.
Selain itu, dalam pluralisme hukum yang ada,
neoliberalisme hanya bisa menyusup melalui suatu sintesis. Ini terjadi antara
lain lantaran konsep kunci perekonomian dan hukum kita khususnya pada masalah
kebendaan (property rights)—baik secara konstitusional maupun konteks
perundangan—masih menganut nilai kepemilikan bersama atau oleh negara. Prinsip
umum yang berlaku adalah beberapa benda dan hak khususnya yang bersifat
strategis bagi perekonomian negara harus sebanyakbanyaknya digunakan untuk
kemakmuran rakyat.
Sejak pertama kali diselenggarakan di Kuala
Lumpur, Malaysia, tahun 2005, tidak banyak perubahan signifikan yang mampu
dihasilkan KTT Asia Timur (EAS) karena masih mencari bentuk-bentuk ideal.
Eksistensi EAS sekarang ini masih mencari pola di tengah upaya Jepang
menghadirkan struktur Komunitas Asia Timur (EAC) dan Australia berkeinginan
membentuk Uni Asia Pasifik (Asia Pacific Union).
Regionalisme dan multilateralisme di kawasan Asia
Pasifik sekarang ini memiliki banyak bentuk selain ASEAN yang menjadi pilar
utama kerja sama regional. Ada desakan memperluas EAS agar menjadi lebih
komprehensif tanpa harus melalui mekanisme peletakan fondasi acquis
communautaire (pengaturan dan hukum yang dibutuhkan komunitas) seperti yang
dimiliki Uni Eropa.
Indonesia bergabung dengan WTO dan kerjasama
ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis. memperbaharui
mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum. Bagaimana juga karakteristik
dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada
bidang hukum. Globcilisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi
hukum, globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan
internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya
antara Barat dan Timur. Globalisasi hukum terjadi melalui usaha-usaha
standarisasi hukum. antara lain melalui perjanjian-perjanjian internasional.
Globalisasi dibidang kontrak-kontrak bisnis
internasional sudah lama terjadi. Karena negara-negara maju membawa
transaksi-transaksi baru ke negara-negara berkembang, maka partner mereka dari negara-negara
berkembang menerima model-model kontrak bisnis internasional tersebut, bisa
karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut, dapat juga karena posisi tawar
yang lemah, Oleh karena itu tidak mengherankan, perjanjian patungan, perjanjian
waralaba, perjanjian lisensi, perjanjian keagenan, hampir sama disemua negara.
Persamaan ketentuan-ketentuan hukum berbagai
negara bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju
berkaitan dengan institusi-institusi hukum untuk mendapatkan modal.
Undang-Undang Perseroan Terbatas berbagai negara dengen perbendaan dalam sistem
hukum dari “Civil Law” maupun “Common Law” berisikan substainsi yang serupa.
Sehingga terjadi pengadopsian sistem hukum yang memepengaruhi negara-negara
dalam globalisasi.
Begitu juga dengan peraturan Pasar Modal, dimana
saja tidak banyak berbeda, satu dan yang lain karena dana yang mengalir ke
pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan batas-batas
negara, Tuntutan keterbukaan yang semakin besar, berkembangnya kejahatan
intiernasional dalam pencucian uang dan perdagangan gelap mendorong kerjasama
internasional.
Membangun Koalisi Antar Negara
Pada saat ekonomi menjadi terintegrasi,
harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization)
telah didahului atau diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti
Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara
regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global
mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.
Dampak dari globalisasi sangat kompleks. Dampak tersebut
meliputi liberalisasi dalam sistem perdagangan dunia, peningkatan mobilitas
tenaga kerja dan modal, pembentukan blok perdagangan dan penyebarluasan
teknologi serta komunikasi. Dampak globalisasi yang tidak terhindari juga
menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk melakukan peran mereka. Sebagai
contoh, akibat dari pengikisan batas-batas nasional, Negara saat ini menemukan
kesulitan untuk mengontrol tren yang berkembang antara lain dalam software,
perdagangan/kontrak-kontrak bisnis internasional dan investasi asing.
Dampak dari globalisasi tidak hanya terjadi pada
sektor ekonomi tetapi juga berpengaruh pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi
manusia. Dampak ekonomi dari meluasnya globalisasi telah menciptakan efek
domino pada area lain dalam sistem social. Kita memahami bahwa proses
globalisasi membawa perubahan besar dalam hampir setiap aspek kehidupan
manusia: teknologi, kondisi kerja, pekerjaan, kompetisi, konsumsi dan
sebagainya, untuk itu Negara harus berupaya untuk melakukan koreksi atas dampak
negatif dari globalisasi bagi warga negaranya. Beberapa upaya yang perlu
dilakukan antara lain mengenai mekanisme pemerataan dan pembagian kesejahteraan
social yang adil dan upaya-upaya untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas
masyarakat. Schachter (1997) menyatakan bahwa: "mereka yang lemah dan
rentan, secara umum, lebih mungkin untuk mendapatkan perlindungan dan
keuntungan melalui Negara, bila dibandingkan melalui pasar bebas atau asosiasi
non-pemerintah yang tidak memiliki wewenang yang efektif".
Negara-negara berkembang yang terperangkap dalam
hutang dan memperoleh bantuan keuangan dari berbagai Institusi Keuangan
Internasional (International Finance Institutions - IFIs), dituntut untuk
melakukan reformasi ekonomi dan pembuatan kebijakan sebagaimana ditetapkan
dalam berbagai perjanjian perbaikan struktural (structural adjustment) oleh
IFIs. Dengan demikian Negara-negara berkembang ini tidak lagi mempunyai otonomi
dalam membentuk hukum dan kebijakan nasionalnya (Harris dan Seid, 2000, p.10).
Kritik tentang strategi structural adjustment yang dilakukan oleh IMF
menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak benar-benar dirancang untuk
melindungi negara dari resesi, tetapi lebih untuk melindungi kreditur. Sebuah
daftar panjang ditawarkan oleh IMF bagi Negara-negara yang ingin mendapatkan
pinjaman dalam rangka penyehatan ekonomi antara lain melalui pemotongan
pengeluaran pemerintah (spending), kenaikan pajak, dan suku bunga tinggi
(Stiglitz, 2006). Ketergantungan mereka pada bantuan dari Negara-negara Utara
melalui IFIs telah membuat Negara berkembang tidak memiliki pilihan, kecuali
melakukan seperti yang dituntut oleh Utara (Watkins, 2002). Dari contoh di
atas, dapat dilihat jelas bahwa Negara tidak lagi dapat mengatur kebijakan
nasionalnya secara mandiri. Dalam berbagai kasus Negara-negara industri
memiliki kemampuan untuk dapat mengambil keuntungan terhadap Negara yang lebih
miskin – yang umumnya memiliki fungsi kelembagaan yang lebih buruk (sistem
administrasi, sistem hukum, dan sebagainya) dalam konstalasi ekonomi dan
politik internasional. Negara berkembang yang memiliki kelemahan posisi tawar,
seringkali tidak memiliki mekanisme efektif untuk mengartikulasikan pandangan
dan kepentingan mereka di hadapan aktor privat atau kelompok industri besar
dalam proses negosisasi multilateral.
Untuk melindungi kepentingan Negara seiring
dengan meningkatnya globalisasi maka terdapat kebutuhan untuk membentuk
kerangka aturan dan institusi yang mengatur struktur dan hubungan Negara-negara
dalam hubungan ekonomi internasional. Salah satu cara yang efektif untuk
meningkatkan posisi tawar sekelompok Negara dalam ranah ekonomi regional adalah
dengan untuk membentuk kelompok. Kelompok regional negara dapat menawarkan
kesempatan untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi maupun politik dalam
konteks multilateral yang lebih luas. Grup regional seperti ini juga dinilai
dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya. Meskipun kelompok regional
ini dapat meningkatkan intensitas perdagangan antar negara-negara di wilayah
tersebut, namun masih terdapat potensi diskriminasi terhadap Negara yang lemah
dan lebih rentan.
Tujuan dari koalisi ini adalah untuk menciptakan
aturan-aturan hukum internasional dengan karakteristik yang sejalan dengan
tantangan hukum internasional dalam berbagai bidang. Praktik pembentukan
integrasi regional seperti ini dapat dilihat dalam pengembangan kerangka
institutional untuk pembentukan kebijakan bersama, misalnya organisasi regional
ASEAN di Asia Tenggara atau Uni Eropa di daratan Eropa. Keberhasilan integrasi
seperti Uni Eropa bahkan telah melampaui pendekatan intergovernment dalam
pengambilan keputusan dalam sistem 'federal' serta memiliki dampak yang
signifikan dan mengikat terhadap hukum dan kebijakan di Negara-negara anggota.
Namun demikian juga terdapat kesulitan dalam
menciptakan harmonisasi hukum, terutama di negara-negara berkembang karena
Negara memiliki batas kemampuan untuk memfasilitasi proses domestifikasi.
Adanya tekanan dari aktor eksternal di luar Negara membuat Negara tidak
sepenuhnya independen. Hal ini misalnya terjadi dalam pelaksanaan program
structural adjustment, yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang menuntut Negara berkembang untuk
membuat kebijakan khusus yang seringkali tidak memiliki konteks local dan
tercerabut dari karakter dan kepentingan lokal. Kesulitan lainnya adalah
kurangnya kemampuan Negara untuk menciptakan hukum nasional yang memadai untuk
melindungi kepentingan masyarakat lokal di dalam negara. Kepentingan masyarakat
utamanya golongan rentan dan terpinggir seringkali dikesampingkan baik di
hadapan kepentingan nasional maupun dalam menghadapi tekanan kapitalisme
global. Pengambilan keputusan dan perumusan hukum seringkali bernuansa korupsi.
Untuk melaksanakan harmonisasi hukum yang
berpihak pada kepentingan masyarakat maka Negara harus mempromosikan peraturan
dan penegakan hukum yang kuat untuk menciptakan etika dan perilaku hukum untuk
memerangi korupsi. Dalam arti lebih luas, negara harus menciptakan transparansi,
partisipatisi dan akuntabilitas publik dalam pelayanan pemerintahan. Inti dari
pemerintahan yang baik adalah yang partisipasi, transparansi dan akuntabilitas
publik. Hukum yang kuat untuk melindungi lingkungan, misalnya, merupakan hasil
dari proses politik yang berkelanjutan yang dikombinasikan dengan partisipasi
dan pengawasan yang melibatkan seluruh upaya terus menerus dari masyarakat
sipil. Pembuat kebijakan Negara dituntut untuk mengakomodasi kepentingan
masyarakat melalui berbagai bentuk partisipasi dalam proses adopsi
undang-undang dan kebijakan.
Pengaruh Globalisasi di Indonesia
Dalam
kehidupan berskala global dewasa ini, yang akan terwujud adalah suatu global
society yang justru tak akan bergerak ke suatu keseragaaman. Global
society bukanlah suatu globa state yang terkontrol secara sentral. Global
state lebih tepat kalau dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang boleh
juga disebut a global economy. Global society menyaksikan terbebaskannya
jutaan manusia dari ikatan-ikatan aturan hukum nasional yang pada waktu yang
lalu dikembangkan sebagai mekanisme kontrol di tangan sentral penguasa-penguasa
negara. Sementara itu, perkembangannya sebagai global economy telah
membuka berbagai perbatasan negeri, yang akan melalulalangkan manusia (yang
produsen ataupun yang konsumen), kapital , dan informasi melintasi
perbatasan-perbatasan yang territorial maupun yang kultural. Dalam hubungan
ini, mengingat kebenaran apa yang disimak dan dikatakan Naisbitt bahwa “the
bigger the economy, the more powerful its smallest players … to create the new
rules for the expanding global economic order”,11 maka di tengah sistem ekonomi
yang kian mengglobal dan tiadanya global state yang memegang kekuasaan
pengatur yang sentral ini akan terjadilah otonomi pengaturan pada skalanya yang
mikro, "untuk kalangan sendiri".[5]
Tidak
hanya dalam ihwal kontrak-kontrak niaga di ranah ekonomi pasar kecenderungan
perkembangan yang dipaparkan di muka ini amat nyatanya. Dalam kehidupan di
ranah sosial dan kultural, kecenderungan untuk menjauhi penyelesaian lewat
intervensi badan-badan resmi negara nasional akan pula amat nyatanya.
Renegosiasi, mediasi, konsultasi untuk mencapai perdamaian akan kian dipilih
berdasarkan motif dan itikat baik. Dewasa ini, dalam kehidupan pada tataran
global yang semakin dikuasai fakta pluralisme, setiap warga yang tengah
berurusan dengan hukum akan selalu menemukan dirinya dalam suatu kancah, di
mana lebih dari satu sumber hukum bisa berlaku bagi dirinya. Kini ini, suatu
persoalan hidup yang dipandang relevan sebagai urusan hukum tak hanya akan
menjadi objek aturan hukum negara, tetapi juga akan diintervensi oleh berbagai
macam norma lainnya, mulai dari yang moral dan tradisi setempat sampaipun ke
yang konvensi dan kovenan internasional.[6]
Globalisasi hukum akan menyebabkan
peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi,perdagangan,
jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju. Namun
tidak ada jaminan peraturan-peraturan tersebut memberikan hasil yang sama
disemua tempat. Hal mana dikarenakan perbedaan sistim politik, ekonomi dan
budaya. Apa yang disebut hukum itu tergantung kepada persepsi masyarakatnya.
Friedman, mengatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada
budaya hukum masyarakat. budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum
anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan,
budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.
pengaruh hukum internasional terhadap
perkembangan hukum nasional (sistem hukum dan hukum positif) di Indonesia
karena pertama, masalah tersebut masih selalu dikaitkan dengan prinsip “state
sovereignty” dan kepentingan perlindungan hukum suatu (bangsa) Negara di dalam
memasuki terutama abad globalisasi saat ini. Globalisasi sering diartikan
secara kurang tepat "dunia tanpa batas"; sedangkan justru dalam abad
21 globalisasi masalah batas wilayah Negara dan yurisdiksi Negara merupakan isu
yang sangat penting terutama bagi Negara berkembang. Kedua, secara geografis,
ethnografis dan secara kultural telah diakui eksistensi keragaman antara bangsa
tersebut sehingga hambatan implementasi hukum internasional yang telah diakui
oleh Pemerintah Indonesia (melalui ratifikasi) sering terbentur kepada masalah
penerimaan pengaruh asing (hukum internasional) ke dalam kehidupan nyata yang
berkembang di Indonesia. Ketiga, kerentanan masalah hukum asing tersebut
berkaitan dengan pengakuan atas hak ekonomi, hak sosial dan hak politik yang
berkembang dalam masyarakat.[7]
Menlu Natalegawa menempatkan perspektif politik
luar negeri dan kepentingan nasional Indonesia dalam apa yang disebutnya
dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis), di mana tidak ada kekuatan dominan
tunggal di kawasan dan berbagai negara berinteraksi secara damai dan
menguntungkan.
Globalisasi telah mendorong dan merubah
konfigurasi hukum yang kompleks. Ketika keterkaitan global semakin meningkat
maka transaksi dan komunikasi lintas batas pun semakin meluas sehingga muncul
kebutuhan untuk menciptakan hukum lintas Negara (transnational rules). Globalisasi
juga telah membawa pada meningkatnya ekspansi rezim hukum internasional dalam
area hukum publik dan privat. Berbagai referensi juga mencatat bahwa rezim
hukum privat di arena global semakin banyak memproduksi hukum-hukum substantif
tanpa adanya campur tangan Negara, dan tanpa perlu legitimasi hukum dari Negara
atau perjanjian international (McGrew, 1998).
Dalam
berbagai referensi mengenai globalisasi, analisis dampak dari globalisasi hukum
pada umumnya terletak pada bentuk hubungan antara kepentingan nasional,
internasional dan transnasional. Ide mengenai Negara sebagai satu-satunya
pemilik kedaulatan hukum semakin melemah dengan munculnya berbagai pola
interaksi hukum yang melintasi batas-batas antara hukum internasional dan
nasional, praktek di tingkat lokal dan internasional, serta kewenangan yuridis
internal dan eksternal (McGrew, 1998 , p.336). Saat ini kedaulatan harus
diterima sebagai suatu kewenangan yang
tidak lagi dimonopoli oleh Negara namun kedaulatan dalam pembentukan hukum
telah terbagi di antara berbagai entitas/agen - nasional, regional dan
internasional. McGrew (1998, hal 340) menyatakan bahwa: "Keberadaan
jaringan aktivitas global dan regional, rezim internasional, tata pemerintahan
global dan regional, gerakan sosial di tataran transnasional, interaksi hukum
global dan transnasional, dan berbagai jenis asosiasi transnasional, dapat
diinterpretasikan sebagai munculnya 'ruang politik dan hukum' jenis baru yang
melepaskan diri dari ikatan wilayah negara ".
Pengaruh Globalisasi Pada Sistem Hukum Indonesia
Bagi
Indonesia yang masih menganut sistem hukum "Civil Law", pemberlakuan
perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional masih memerlukan proses
ratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
UUD 1945 tentang sahnya suatu perjanjian internasional dan merujuk kepada
Undang-undang RI Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan
Undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.[8]
Peratifikasian
suatu perjanjian internasional yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia
mutatis mutandis merupakan hukum nasional (hukum positif) sebagai dasar
penerapannya di dalam praktik. Namun demikian dalam proses legislasi di
Indonesia, peratifikasian tsb diwujudkan dalam suatu "Undang-undang
Pengesahan". Implementasi undang-undang ratifikasi (pengesahan) tsb masih
harus melalui suatu proses harmonisasi dengan undang-undang lama dalam hal
objek perjanjian internasional telah dimuat sebagian atau seluruhnya di dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses harmonisasi
tersebut akan melahirkan suatu UU tentang Perubahan. Jika objek perjanjian yang
telah melalui proses ratifikasi belum diatur sama sekali di sistem hukum
nasional maka dilakukan proses perancangan
undang-undang baru.[9]
Perdagangan
internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-pinjaman
luar negeri dari negara-negara maju, pengaruh Common Law secara disadari
atau tidak masuk ke Indonesia. Common Law mempengaruhi hukum Indonesia
melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional di mana
Indonesia menjadi anggotanya, perjanjian antara para pengusaha, lahirnya
institusi-institusi keuangan baru dan pengaruh sarjana hukum yang mendapat pendidikan
di negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia.
Pertama, datangnya modal asing ke Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi anggota
berbagai konvensi internasional di mana hukum Common Law adalah dominan.[10]
Perjanjian
yang terakhir amat mempengaruhi Indonsia dalam bidang hukum Ekonomi adalah GATT
(General Agreement on Tariff and Trade) atau WTO (WorldTrade
Organisation), TRIMs (Trade Related Invesment Measures) atau
peraturan di bidang investasi yang berhubungan dengan perdagangan dan TRIPs (Trade
Releted Intellectual Property Rights) atau peraturan yang berhubungan
dengan hak milik intelektual, banyak mempengaruhi undang-undang di bidang hak
milik dan investasi di Indonesia. Kedua, datangnya modal asing yang dalam
implementasinya melahirkan antara lain Joint Venture Agreement, perusahaan-perusahaan
waralaba negara-negara maju yang memperkenalkan Indonesia pada Franchise
Agreement, berbagai perusahaan Indonesia yang memerlukan pinjaman jangka
pendek membawa mereka kepada pengenalan Commercial Paper (CP). Kesemuanya
itu datang dari Common Law sistem yang sebelumnya tidak dikenal di
Indonesia. Kedudukan Indonesia yang memerlukan bantuan luar negeri untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi negara ini menyebabkan juga Indonesia
meminta bantuan lembaga keuangan internasional. Negara-negara maju berpendapat
bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan tanpa pembaharuan hukum
terlebih dahulu yang akan mendukung pembangunan ekonomi tersebut. Dalam hal ini
badan-badan internasional yang didominasi oleh Common Law secara tidak disadari
membawa unsur-unsur sistem hukum tersebut ke dalam undang-undang nasional Indonesia.
“Class Action” diperkenalkan dalam gugatan perlindungan lingkungan
hidup, “Derivative Action” diperkenalkan dalam gugatan pemegang saham
minoritas kepada direksi dan komisaris PT atas nama perusahaan. Sebelumnya
hal-hal tersebut tidak dikenal dalam hukum Acara Perdata Indonesia yang berasal
dari Civil Law sistem.[11]
Pengaruh Globalisasi Pada Produk Hukum Indonesia
Faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan
dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan stability,
predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah
prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stability
adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan yang saling
bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability)
akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri
yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-gubungan
ekonomi yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan
yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga
mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.[12]
Liberalisasi perdagangan menuju era
ekonomi global dan pasar bebas melalui WTO (World Trade Organization)
maupun APEC (Asia Pasific Economic Committee), menghadirkan tantangan
yang berat bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan
demikian, oleh karena di pasar bebas akan bertemu kekuatan-kekuatan yang tidak
berimbang, yaitu negara-negara industri, New Indusrial Countries (NIC’s),
dan negara-negara yang sedang berkembang. Kemampuan para pemain, dalam hal ini
negara-negara, tidaklah sama. Negara-negara berkembang dikhawatirkan akan
kedodoran dalam menghadapi persaingan ketat dengan negaranegara maju.
Organisasi internasional seperti IMF, World Bank
dan ADB juga memegang peranan penting dalam proses pembangunan hukum (legal
development) melalui berbagai program pembangunan. Kerjasama pembangunan hukum
seringkali membawa pengaruh kepentingan organisasi internasional dalam proses
pembentukan kebijakan nasional.. Organisasi-organisasi internasional lainnya
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta berbagai perjanjian khusus
organisasi juga memainkan peran penting dalam globalisasi hukum. HAM adalah
salah satu bidang hukum yang mendunia dan pengaruhnya telah menyebar secara
luas. Jaringan organisasi-organisasi internasional ini merupakan agen-agen yang
berpengaruh dalam proses globalisasi dan pluralisme hukum. Ketentuan dan
prosedur yang mereka buat telah berkembang menjadi sumber hukum yang berlaku
dalam masyarakat internasional dan memiliki pengaruh mengikat di level
nasional.
Dalam sistem ekonomi pasar global, sistem
hukum memerlukan reformasi dalam format dan fungsinya yang sesuai dengan
tuntutan aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam semangat pasar bebas. Dalam
konteks liberalisasi ekonomi dan perdagangan ini, pemerintah Indonesia
tampaknya telah melaku-kan langkah-langkah deregulasi dalam bidang ekonomi
dan perdagangan. Deregulasi dalam bidang
ekonomi dan perdagangan, pada hakikatnya bukanlah peniadaan peran hukum dalam
pengaturan kehidupan ekonomi, melainkan melakukan perubahan (reformasi) dalam
pola pengaturan ke arah yang lebih demokratis, liberal dan akomodatif terhadap
dinamika pasar.[13]
Dampak pengaruh globalisasi terhadap produk hukum
di Indonesia dapat dipengaruhi oleh kepentingan negara industri maju. Selain
kepentingan negara industri maju dalam pengaruhnya dalam pembentukan produk
hukum di Indonesia juga peran dari lembaga-lembaga donor asing seperti Bank
Dunia, IMF dan ADB. Dimana lembaga donor tersebut juga merupakan kepanjangan
tangan dalam membawa kepentingan negara-negara industri maju. Juga pengaruh
dari LSM/NGO internasional dapat mengarahkan kepentingannya dalam produk hukum
sehubungan dengan isu-isu global.
Beberapa produk hukum di Indonesia yang paling
jelas mencerminkan proses tersebut adalah produk tahun 1995, yaitu UndangUndang
tentang Perseroan Terbatas dan UndangUndang tentang Pasar Modal. Ciri penting
dari kedua undang-undang tersebut adalah masuknya beberapa doktrin dan prinsip
ukum yang selama itu dianggap berasal dari tradisi Common Law. Doktrin yang
selama ini hanya ditemukan Common Law seperti manipulasi pasar, pemisahan
kepemilikan efek, kewajiban fidusia bagi direksi dan komisaris, dan piercing
the corporate veil berhasil menjadi bagian integral dari hukum kita.
Pembuatan Undang-Undang Minyak Bumi dan
Gas Nomor 22/2001 yang diduga ada keterlibatan pendanaan sekitar Rp 200 miliar
dari pihak lembaga donor bilateral Amerika Serikat (USAID) mengundang sejumlah
reaksi. DPR harus merevisi pasal-pasal dalam UU tersebut yang tidak sesuai
dengan semangat UUD 1945 bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk
kemakmuran rakyat. "Akibatnya sangat signifikan dalam pengelolaan sektor
energi kita, yang dirugikan juga rakyat karena subsidi BBM dicabut,".
Dampaknya ketimpangan sosial, kalau tata kuasa dan kelola produksi dan konsumsi
energi tak digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi rakyat," ujarnya.
Selain USAID, ada lembaga donor lain seperti Asian Development Bank (ADB) dan
Bank Dunia yang turut menyediakan analisis kebijakan harga energi dan
penghapusan subsidi bagi masyarakat.[14]
Anggota DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan,
ada campur tangan asing terlibat dalam penyusunan puluhan undang-undang di
Indonesia. "Ada 76 undang-undang yang draft-nya dilakukan pihak asing.
Puluhan UU dengan intervensi asing itu dilakukan dalam 12 tahun pasca
reformasi. Inti dari intervensi ini adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor
vital di Indonesia. Contohnya, UU tentang Migas, Kelistrikan, Pebankan
dan Keuangan, Pertanian, serta sumber Daya Air.[15]
Tiga lembaga yang berbasis di Amerika
Serikat (AS) tercatat paling banyak menjadi konsultan pemerintah dalam
merancang 72 undang-undang (UU) yang disinyalir Badan Intelijen Nasional (BIN)
disusupi kepentingan asing. Ketiga lembaga tersebut adalah World Bank (Bank
Dunia), International Monetary Fund (IMF), dan United States Agency for
International Development (USAID). “Ketiganya terlibat sebagai konsultan,
karena memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk sejumlah program di bidang
politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Makanya,
mereka bisa menyusupkan kepentingan asing dalam penyusunan UU di bidang-bidang
tersebut,” kata Anggota DPR dari FPDI-P Eva Kusuma Sundari. Bank Dunia antara
lain terlibat sebagai konsultan dalam sejumlah program pemerintah di sektor
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam dan
pembangunan berbasis masyarakat. Keterlibatan Bank Dunia tersebut, membuat
pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain UU Pendidikan Nasional (No 20 Tahun
2003), UU Kesehatan (No 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan No 20 Tahun 2002, dan UU
Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004).[16]
Eva mengungkapkan, IMF menyusupkan
kepentingan melalui UU BUMN (No 19 Tahun 2003) dan UU Penanaman Modal Asing (No
25 Tahun 2007). “Dengan menerima bantuan IMF, pemerintah harus mengikuti
ketentuan seperti privatisasi BUMN dan membuka kesempatan penanaman modal asing
di usaha strategis yang seharusnya dikuasai negara.
keterlibatan USAID antara lain, pada UU
Migas (No 22 Tahun 2001), UU Pemilu (No 10 Tahun 2008), dan UU Perbankan yang
kini tengah digodok pemerintah untuk direvisi. Selama masa reformasi, USAID
antara lain menjadi konsultan dan membantu pemerintah dalam bidang pendidikan
pemilih serta penyelenggaraan dan pengawasan pemilihan umum. Di sektor
keuangan, membantu usaha restrukturisasi perbankan, pengembangan perangkat
ekonomi makro yang baru, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam penentuan
kebijakan ekonomi.
Globalisasi telah mengurai batasan antara ranah
lokal, nasional, regional dan global dan menyebabkan munculnya ruang politik
yang tumpang tindih. Dengan kata lain globalisasi berdampak pada penataan ulang
kehidupan sosial dimana ruang politik dan hukum tidak lagi hanya dibatasi oleh
batas teritori Negara.
Efek globalisasi hukum tidak bisa terlepas dari
bagaimana interaksi hukum masa kini telah merubah pembangunan karakter hukum
nasional dan internasional. Secara tradisional, legitimasi hukum dapat
ditelusuri dari pembuatan hukum positif oleh Negara dan oleh karenanya hukum
internasional adalah dan sudah seharusnya merupakan hukum antar Negara. Namun dalam
beberapa dekade terakhir, subjek, lingkup dan sumber hukum internasional telah
diperluas. Kohl melihat bahwa dengan munculnya aktor-aktor non-negara, hukum
internasional tidak bisa lagi 'hanya berfungsi mengkoordinasi kepentingan
Negara-negara, namun juga harus dapat memfasilitasi kerjasama antara Negara dan
non-Negara dalam berbagai area, antara lain di bidang humanitarian, penguatan
demokrasi dan supremasi hukum, dan akuntabilitas transnasional '(Kohl, 2002,
p.328).
Kesimpulan
Perkembangan dunia dalam era globalisasi saat ini tidak dapat
dibendung oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Pengaruh perdagangan
bebas dalam ekonomi begitu kuat dan isu-isu global seperti pada teknologi,
lingkungan, budaya, HAM dan politik.
Indonesia sebagai negara berkembang, mendapat pengaruh dari
negara-negara maju dimana negara-negara industri tersebut membawa kepantingan
ekonomi dalam investasi di Indonesia. Hal ini yang menyebabkan Indonesia harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut.
Sehingga dalam mempertahankan kepentingan nasional, Indonesia menjalin
kerja sama dengan negara-negara lain baik dalam tingkat global yang tergabung
dalam IMF dan Bank Dunia ataupin dalam kerja sama dengan negara-neggara
tetangga seperti dalam ASEAN. Namun dalam hal tertentu untuk menjaga stabilitas
nasional dan ekonomi nasional Indonesia juga menjalin kerjasama bilateral
dengan cina.
Pengaruh globalisasi juga mempengaruhi sistem hukum dan
produk hukum Indonesia. Dimana Indonesia yang merupakan negara yang mempunyai
sistem hukum civil law akan berhadapan dengan negara yang sistem hukum common
law. Sehingga hal ini mempengaruhi sistem hukum Indonesia. Dan terjadinya
pluralisme hukum dengan terjadinya mix legal tradition.
Produk hukum indonesia tidak lepas dari intervensi asing,
dimana dalam hal uu pemilu, kepailitan, perdangan, HAKI, migas, dll. Pengaruh
ini dapat menguntungkan dalam menciptakan demokrasi yang lebih baik tapi juga
bisa juga berdampak hal negatif dengan pengaruh asing dalam sektor ekonomi.
Dalam UU pemilu dimana pengaruh negara-negara maju dengan politik demokrasi
yzng dijunjungnya, sehingga memaksa Indonesia harus mengikuti sistem demokrasi
tersebut. Hal ini menguntungkan dalam politik dalam negeri dengan ditagakan
demokrasi dalam kehidupan negara. Namun hal-hal negatif dalam produk hukum
seperti uu kepailitan dimana Indonesia dengan tidak mau harus menjual
perusahaan-perusahaan nasional sehingga kepemilikan perusahaan nasional
dikuasai asing.
Memang produk hukum Indonesia dalam pembentukan dipengaruhi
asing, karena pihak asing ingin menguasai sumber daya alam Indonesia yang
begitu kaya untuk kepentingan asing. Sehingga kepentingan nasional terabaikan.
UU PMA yang dibuat Indonesia menguntungkan perusahaan asing seperti freeport
yang menghasilkan US$ 33 Milyar dari hasil eksplorasi tambang di Indonesia.
Belum perusahaan-perusahaan nasional yang telah di akuisisi asing.
Indonesia harus dapat mempertahankan kepentingsn nasional
dalam era globalisasi. Dengan melindungi kepentingan nasional, dan menjaga kekayaan
alam dari intervensi asing. Bukan hanya sumber daya alam, tetapi juga
nilai-nilai budaya dan produk-produk budaya indonesia seperti batik. UU HAKi
harus memberikan proteksi terhadap kekayaan budaya Indonesia.
UUD 1945 pasal 33, merupaka pijakan Indonesia dalam
menghadapi perdangan bebas dunia dan pengaruh globalisasi. Nilai-nilai yang
sudah ada di dalam UUD 1945 dan Pancasila harus merupakan pijakan dari
pemerintah untuk membuat produk hukum. Sehingga kepentingan masyarakat lebih di
jamin dengan tidak terlebih dahulu mementingkan kepentingan asing.
politik luar negeri indonesia harus bisa lebih berperan aktif
dengan memberikan proteksi terhadap kedaulatan Indonesia. Tidak didikte oleh
negara-negara asing, dan memberikan posisi tawar yang kuat terhadap lembaga-lembaga
donor internasional dalam memberikan pinjaman luar negeri. Pengaruh yang
positif dapat diambil oleh Indonesia namun pengaruh yang negatif, dapat
mengakibatkan kerugian harus dihindarkan. Karena lembaga-lembaga internasional
masuk ke Indonesia didalamnya juga membawa kepentingan-kepentingan negara maju.
Dengan dapat mempertahankan kepentingan nasional dan
identitas bangsa Indonesia dalam perkembangan global. Indonesia dapat
menghindar dari penjajahan baru dalam era globalisasi yang disebut dengan
neokolonialisme.
Daftar Bacaan
Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia Dalam Rangka
Hut Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Di Depan Sidang
Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia , Jakarta, 16 Agustus 2010
Winarno Narmoatmojo, Dinamika Peradaban Global & Pengaruhnya bagi Negara Bangsa
Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum, common law, civil law dan socialist law,
Nusamedia, 2010,
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era
Globalisasi : Implikasinya Bagl Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato
pengukuhan diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997
Artikel
dari buku: Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat:Perkembangan dan
Masalah (Malang: Bayumedia, 2008)
Romli Atmasasmita Makalah Disampaikan Pada, "Seminar Legislasi Nasional"; Baleg
Dpri Ri; Tanggal 21 Mei 2008
Erman Rajagukguk, Disampaikan pada Diskusi
Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung ke-37
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di
Indonesia, Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,
Pidato yang disampaikan pada Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas
Indonesia, Kampus UI Depok, 2000
Natangsa
Surbakti, SH.,M.Hum, Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana Dalam
Era Ekonomi Global, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta, hal.61
Kompas, 3 September
2008, UU Migas Harus Direvisi, Bila Asing Terbukti
Intervensi
Tempo, 20 Agustus 2010, Eva: Asing Intervensi 76 Undang-undang
http://www.theglobal-review.com,
Tiga
Lembaga Asing Intervensi UU [ Bank Dunia, IMF, USAID ]
[1] PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DR. H. SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM RANGKA
HUT KE-65 PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA DI DEPAN SIDANG
BERSAMA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA , Jakarta, 16 Agustus 2010
[3] Peter De Cruz, Perbandingan
Sistem Hukum, common law, civil law dan socialist law, Nusamedia, 2010,
hal. 199
[4] Erman Rajagukguk, PERANAN
HUKUM DALAM PEMBANGUNAN PADA ERA GLOBALISASI : IMPLIKASINYA BAGl PENDIDIKAN
HUKUM DI INDONESIA, Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara
penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997
[5] Artikel
dari buku: Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum
Dalam Masyarakat:Perkembangan dan Masalah (Malang:
Bayumedia, 2008), hlm. 237-252
[7]Romli Atmasasmita Makalah Disampaikan Pada, "Seminar
Legislasi Nasional";Baleg Dpri Ri; Tanggal 21 Mei 2008
[10] Erman Rajagukguk, Disampaikan pada Diskusi
Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung
ke-37
[12] Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di Indonesia, Menjaga Persatuan,
Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato yang
disampaikan pada Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia,
Kampus UI Depok, 2000, hlm.13
[13] Natangsa Surbakti, SH.,M.Hum, Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana
Dalam Era Ekonomi Global, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal.61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar