MAZHAB SEJARAH
Pemikiran
filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah Kelahiran mazhab yang
dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu
(1689-1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan
antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham
nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab
ini jugamerupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang
menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum
perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum
alam dan aliran hukum positif.
Mazhab yang
tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum alam dan hukum
positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat,
tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nicht gemacht,
est ist und wird mit dem Volke).
Dampak ajaran
madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat. Mereka
disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara hukum dengan
struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga
terasa sampai jauh ke luar negara Jerman.
Munculnya
pemikira tentang hukum pada umumnya merupakan jawaban fundamental tentang
masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh masyarakat pada zaman itu.
Gambar-1 tentang
Inspirasi dan reaksi Madzab Sejarah di bawah ini menunjukkan, terdapat 2 hal
yang memicu kelahiran Madzab Sejarah ini yakni; buku Montesqui eu "L' esprit
des Lois" dan paham nasionalisme yang mulai tumbuh pada awal abad ke- 19.
Kedua hal itu, tampak sangat menonjol memberi inspirasi kepada Savigny untuk
menciptakan suatu pemikiran hukum.
Pemikiran
tersebut selanjutnya merupakan jawabannya atas ketidaksetujuannya pada aliran
hukum alam dan usulan kodefikasi hukum perdata Jerman berdasarkan Hukum
Perancis yang diajukan oleh A.F.J Thibaut dengan mengacu pada Kode Napoleon
adalah usaha universalisasi yang dilandasi pemikiran hukum kodrat. Bagi von
Savigny : “All law is the manifestation of this common conciousness” (semua
hukum merupakan manifestasi dari kesadaran umum).
Gambar-1
Inspirasi dan Reaksi Madzab Sejarah

Hal pertama yang
mempengaruhi lahirnya Madzab Sejarah adalah Montesquieu (1689-1755) lewat
bukunya L'esprit des Lois yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya
hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya. W. Friedman mengatakan
bahwa gagasan yang benar-benar penting dari L'esprit des Lois adalah tesis
bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam
mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama,
adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya. Dengan ide inilah, Montesquieu
mulai dengan studi perbandingan mengenai undang undang dan pemerintahan.
Friederich Karl von Savigny
Savigny
mendapatkan "Lahan subur" untuk menanam dan menyemaikan ajarannya
yang mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan
oleh karena setiap bangsa memiliki "volgeist" atau the soul of people
(jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi
negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya. Dalam kaitan
inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum
yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau
bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari hukum itu
ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
Inti ajaran
Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya yang
diterbitkan pada tahun 1814 yang isinya penentangan terhadap usaha kodisfikasi
yang diusulkan oleh A.F.J Thibaut 'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und
Rechtswissenschaft/ Of the of Age for Legislation and Jurisprudence (Mengenai
tugas legislasi dan Ilmu Hukum di masa kita).
Penulisan karangan Savigny tentang arti hukum mau
menjawab mengenai pembentukan suatu hukum nasional untuk semua negara jerman
yang terpisah-pisah pada saat itu. Dengan dibuatnya suatu Kode hukum Jerman,
seperti telah dibentuk ooeh negara-negara lain. Kodeks Prussia tahun 1794,
Kodeks Perancis tahun 1804 dan Kodeks Austria tahun 1811.
Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena
keyakinannya bahwa dunia yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai
volgeist (jiwa rakyat) yang erbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan.
Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada
setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat/jiwa
bangsa itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
Hukum timbul menurut Savigny bukan karena perintah atau karena kebiasaan, tetap
karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Savigny
mengatakan, “Law is an expression of the common consciousness or spirit of
people Hukum tidak dibuat tapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das
rechts wird nicth gemacht, es ist und wird mit dem volken).
Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam
kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, tatanegara. Oleh
karena itu hukum adalah sesuatu yang supra-ndividual, suatu gajala dalam
masyarakat. Masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam sejarah dan lenyap
dalam sejarah. Savigny menegaskan bahwa tidak terdapat manusia-individu. Setiap
manusia merupakan bagian dari kesatuan yang lebih tinggi, yakni dari keluarga,
bangsa dan negara. Keterikatan yang dalam akan keyakinan-keyakinan bangsa itu
dinamakan oleh savigny : unsur politk (das politishe element); pengolahan
teknis dinamakannya : unsur teknis (das technische element). Sehingga
kebudayaan dan hukum hanya dapat berasal dari jiwa bangsa.
Pokok-pokok
ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat
disimpulkan sebagai berikut
1. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan
hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena
itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat
kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan
hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih
kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi
menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang
merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap
merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi
bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini
tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan
menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat
undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.
3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau
diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya
sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny
menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan
pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam
hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist
melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.
Hukum adalah
hasil dari proses yang bersifsat internal dan otonom serta diam-diam (silently
operating) dalam diri masyarakat. Proses ini berakar dalam sebuah bangsa yang
bersangkutan serta kesadaran komunal bangsa tersebut. Hukum layaknya seperti
bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam relasi kebangsaan dan menjadi milik
bersama dan juga kesadaran bersama.
Hukum itu mirip
dengan bahasa; keduanya berkembang secara bertahap dai karekteristik suatu
masyarakat berkembang, dan keduanya musnah ketika suatu masyarakat kehilangan
individualitasnya.
Bagi Savigny, ia
melihat perbedaan hukum dari masing-masing bangsa terletak pada karekteristik
perkembangan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Dan diakui oleh
savigny bahwa pengetahuan tentang hukum-hukum kuno itu merupakan syarat penting
untuk mempelajari sejarah, pengetahuan tentang hukum-hukum kuno itu merupakan
dasar yang tidak dapat ditinggalkan untuk mempelajari sejarah hukum, namun
andaikata di atas fondasi tersebut tidak dibangun gedung, maka kesemuannya itu
menjadi tidak ada gunanya.
Selanjutnya jika
pokok-pokok ajaran madzab sejarah itu ditampilkan dalam suatu matriks akan
tampak seperti pada tabel-1 berikut ini:
Tabel-1
Pokok-Pokok Ajaran Mazhab Sejarah


Dampak pemikiran
hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap
perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan
Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya
Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata.
Baru pada tahun
1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undangundangnya dalam wujud Burgerliches
Gesetzbuch.
Puchta
Puchta
berpendapat sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa
terikat pada jiwa bangsa (volkgeist) yang bersangkutan.
Hukum trersebut
menurut Pushta, dapat berbentuk :
1.
Langsung berupa
adat istiadat
2.
Melalui
undang-undang
3.
Melalui ilmu hukum
dalam bentuk karya para ahli ilmu hukum.
Puchta
membedakan pengertian bangsa dalam dua jenis :
1.
Bangsa dalam
pengertian etnis/etnologis, yang disebutnya bangsa alam
Suatu masyarakat
nasional yang terdiri orang yang bersaudara secara jasmani dan rohani, yaitu
karena persamaaan darah dan kebudayaan.
2.
Bangsa dalam
arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk suatu negara.
Puchta
mengutamakan pembentukan hukum dalam negara, sehingga akhirnya tidak ada tempat
lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya yakni praktik hukum adat dan pengolahan
ilmiah oleh ahli-ahli hukum. Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum
sesudah disahkan oleh negara.
Tata hukum yang
dibentuk oleh negara tetap disebut hukum bangsa, sebab dianggap sebagai sesuai
dengan jiwa bangsa.
Henry James Summer Maine
Henry James
Summer Maine, adalah ilmuwan yang terpengaruh dengan pendekatan historis
Savigny terhadap ilmu hukum.
Penelitian maine,
difokuskan pada hukum dimasyarakta primitif, yang kemudian ditetapkan atau diperbandingkan
dengan hukum masyarakat modern. Hukum berbeda dimasyarakatyang sedmikian
sederhana dan dimasyarakar yang sudah maju.
Maine mengatakan
tentang adanya masyarakat-masyarakat yang statis dan progresip. Masyarakat yang
progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu:
fiksi, equity dan peerundang-undangan. Maine mengembangkan suatu tesis yaitu,
bahwa dalam perjalanan masyarakat menjadi progresip, disitu terlihat adanya
perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan
kontrak.
Salah satu
tulisan maine bagi jurisprudence adalah pemikirannya tentang pergerakan
evolutif hukum dari status perjanjian (status to contract). Ada lima tahapan
perkembangannya :
1. Hukum dibuat dalam budayayang sedemikian patriarkhis,
dan mendasrkan dirinya pada personal penguasa. Legitimasinya adalah perintah
yang suci, inspirasi dari yang tertinggi.
2. Hukum dimonopoli oleh sekelompok aristokrat dan
sekelompok elit masyarakat yang memiliki privilise tertentu (hak istimewa). Maine
menyebutnya sebagai Costumary Law (hukum adat, hukum kebiasaan).
3. Tahap ketika hukum-hukum adat ada yang
dikodefikasikan karena konflik yang terjadi diantara beberapa masyarakat
pendukung hukum adat yang bersangkutan.
4. Tahap dimana hukum adat mulai ingin
dikontekstualisasikan dengan kondisi masyakat dan zaman yang mulai maju dan
berkembang. Adanya prinsip kesamaan (equalitty before lax) dan adanya
lembaga-lembaga legislasi.
5. Tahap ketika ilmu hukum atau jurisprudence
memegang peranan besar untuk membentuk hukum. Hukum yang terbentuk semakin
sistematis dan konsisten, juga ilmiah karena ilmu hukum menjadi metodologi
untuk membentuk hukum.
Maine hanya
bermaksud menggambarkan tahapan-tahapan tersebut sebagai kecenderungan umum
yang terjadi dalam evolusi perkembangan hukum dan perbuatan hukum.
James Coolidge Carter
Carter terkenal
sebagai tokoh pemikir Amerika dalam Mazhab Historical Jurisprudence, yang mana
sama dengan Savigny menolak gagasan kodifikasi. Carter tidak sependapat dengan
David Dudley Field yang ingin mengganti hukum privat New York dengan civil code
yang terkodifikasikan pada masa reformasi hukum Amerika pada tahun 1880-an.
Bagi Carter asas
preseden dalam hukum tidak lain adalah pengafirmasikan dan pembuktian hukum
kebiasaan yang telah ada (authenticated custom). Pengadilan tidak membuat hukum
tetapi hanya mencari dan menemukan patokan yang benar salah tersebut di dalam
masyarakat, yaitu kebiasaan yang telah dikenal dan mengakar di dalam
masyarakat.
Argumen Carter
menentang pendapat David Dedley Field yang mberpendapat kodifikasi hukum, maka
akan ada kepastian hukum. Carter menentang pendapat tersebut dengan pendapatnya
bahwa walaupun sudah di kodifikasikan peraturan tersebut tetap perlu
diinterpretasikan atau ditafsirkan.
Kodifikasi
menghambat perkembangan hukum karena keterpakuan pada kodifikasi yang ada,
apalagi mempertimbangkan mekanisme amandemen apabila ada kesalahan atau
kekurangan pada norma yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Huijbers, Theo, 1982, Filasafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Kanisius, Yogyakarta
Rahardjo,
Satjipto, 1991, Ilmu Huku, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Zulkarnain, 2003, kritik terhadap pemikiran hukum madzab sejarah, © Digitized by USU digital library
Darmodiharjo, Darjidan Sidharta, 2006, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, PT. Gramedia, Jakarta
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang,
2008, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori
Peradilan, Kencana, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar