Senin, 22 Februari 2016

FILSAFAT HUKUM



MAZHAB SEJARAH

Pemikiran filsafat terakhir di abad ke-19 disebut Mazhab Sejarah Kelahiran mazhab yang dipelopori oleh Friedrich Carl von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu (1689-1755), melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini jugamerupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.

Mazhab yang tampaknya dapat menjawab kelemahan pemikiran aliran hukum alam dan hukum positif tentang hukum itu intinya mengajarkan bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke).

Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat. Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman.

Munculnya pemikira tentang hukum pada umumnya merupakan jawaban fundamental tentang masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh masyarakat pada zaman itu.
Gambar-1 tentang Inspirasi dan reaksi Madzab Sejarah di bawah ini menunjukkan, terdapat 2 hal yang memicu kelahiran Madzab Sejarah ini yakni; buku Montesqui eu "L' esprit des Lois" dan paham nasionalisme yang mulai tumbuh pada awal abad ke- 19. Kedua hal itu, tampak sangat menonjol memberi inspirasi kepada Savigny untuk menciptakan suatu pemikiran hukum.
Pemikiran tersebut selanjutnya merupakan jawabannya atas ketidaksetujuannya pada aliran hukum alam dan usulan kodefikasi hukum perdata Jerman berdasarkan Hukum Perancis yang diajukan oleh A.F.J Thibaut dengan mengacu pada Kode Napoleon adalah usaha universalisasi yang dilandasi pemikiran hukum kodrat. Bagi von Savigny : “All law is the manifestation of this common conciousness” (semua hukum merupakan manifestasi dari kesadaran umum).




Gambar-1
Inspirasi dan Reaksi Madzab Sejarah


Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya Madzab Sejarah adalah Montesquieu (1689-1755) lewat bukunya L'esprit des Lois yang terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa sesuatu bangsa dengan hukumnya. W. Friedman mengatakan bahwa gagasan yang benar-benar penting dari L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya. Dengan ide inilah, Montesquieu mulai dengan studi perbandingan mengenai undang undang dan pemerintahan.

Friederich Karl von Savigny
Savigny mendapatkan "Lahan subur" untuk menanam dan menyemaikan ajarannya yang mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karena setiap bangsa memiliki "volgeist" atau the soul of people (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya. Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).

Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1814 yang isinya penentangan terhadap usaha kodisfikasi yang diusulkan oleh A.F.J Thibaut 'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft/ Of the of Age for Legislation and Jurisprudence (Mengenai tugas legislasi dan Ilmu Hukum di masa kita).

Penulisan karangan Savigny tentang arti hukum mau menjawab mengenai pembentukan suatu hukum nasional untuk semua negara jerman yang terpisah-pisah pada saat itu. Dengan dibuatnya suatu Kode hukum Jerman, seperti telah dibentuk ooeh negara-negara lain. Kodeks Prussia tahun 1794, Kodeks Perancis tahun 1804 dan Kodeks Austria tahun 1811.

Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa dunia yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai volgeist (jiwa rakyat) yang erbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat/jiwa bangsa itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum timbul menurut Savigny bukan karena perintah atau karena kebiasaan, tetap karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Savigny mengatakan, “Law is an expression of the common consciousness or spirit of people Hukum tidak dibuat tapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das rechts wird nicth gemacht, es ist und wird mit dem volken).

Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, tatanegara. Oleh karena itu hukum adalah sesuatu yang supra-ndividual, suatu gajala dalam masyarakat. Masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam sejarah dan lenyap dalam sejarah. Savigny menegaskan bahwa tidak terdapat manusia-individu. Setiap manusia merupakan bagian dari kesatuan yang lebih tinggi, yakni dari keluarga, bangsa dan negara. Keterikatan yang dalam akan keyakinan-keyakinan bangsa itu dinamakan oleh savigny : unsur politk (das politishe element); pengolahan teknis dinamakannya : unsur teknis (das technische element). Sehingga kebudayaan dan hukum hanya dapat berasal dari jiwa bangsa.



Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut
1. Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis;oleh karena itu perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.
3. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.

Hukum adalah hasil dari proses yang bersifsat internal dan otonom serta diam-diam (silently operating) dalam diri masyarakat. Proses ini berakar dalam sebuah bangsa yang bersangkutan serta kesadaran komunal bangsa tersebut. Hukum layaknya seperti bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam relasi kebangsaan dan menjadi milik bersama dan juga kesadaran bersama.
Hukum itu mirip dengan bahasa; keduanya berkembang secara bertahap dai karekteristik suatu masyarakat berkembang, dan keduanya musnah ketika suatu masyarakat kehilangan individualitasnya.
Bagi Savigny, ia melihat perbedaan hukum dari masing-masing bangsa terletak pada karekteristik perkembangan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Dan diakui oleh savigny bahwa pengetahuan tentang hukum-hukum kuno itu merupakan syarat penting untuk mempelajari sejarah, pengetahuan tentang hukum-hukum kuno itu merupakan dasar yang tidak dapat ditinggalkan untuk mempelajari sejarah hukum, namun andaikata di atas fondasi tersebut tidak dibangun gedung, maka kesemuannya itu menjadi tidak ada gunanya.
Selanjutnya jika pokok-pokok ajaran madzab sejarah itu ditampilkan dalam suatu matriks akan tampak seperti pada tabel-1 berikut ini:
Tabel-1
Pokok-Pokok Ajaran Mazhab Sejarah
Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata.
Baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undangundangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch.

Puchta
Puchta berpendapat sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (volkgeist) yang bersangkutan.
Hukum trersebut menurut Pushta, dapat berbentuk :
1.    Langsung berupa adat istiadat
2.    Melalui undang-undang
3.    Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli ilmu hukum.

Puchta membedakan pengertian bangsa dalam dua jenis :
1.    Bangsa dalam pengertian etnis/etnologis, yang disebutnya bangsa alam
Suatu masyarakat nasional yang terdiri orang yang bersaudara secara jasmani dan rohani, yaitu karena persamaaan darah dan kebudayaan.
2.    Bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk suatu negara.

Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya yakni praktik hukum adat dan pengolahan ilmiah oleh ahli-ahli hukum. Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara.
Tata hukum yang dibentuk oleh negara tetap disebut hukum bangsa, sebab dianggap sebagai sesuai dengan jiwa bangsa.

Henry James Summer Maine
Henry James Summer Maine, adalah ilmuwan yang terpengaruh dengan pendekatan historis Savigny terhadap ilmu hukum.

Penelitian maine, difokuskan pada hukum dimasyarakta primitif, yang kemudian ditetapkan atau diperbandingkan dengan hukum masyarakat modern. Hukum berbeda dimasyarakatyang sedmikian sederhana dan dimasyarakar yang sudah maju.

Maine mengatakan tentang adanya masyarakat-masyarakat yang statis dan progresip. Masyarakat yang progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu: fiksi, equity dan peerundang-undangan. Maine mengembangkan suatu tesis yaitu, bahwa dalam perjalanan masyarakat menjadi progresip, disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.

Salah satu tulisan maine bagi jurisprudence adalah pemikirannya tentang pergerakan evolutif hukum dari status perjanjian (status to contract). Ada lima tahapan perkembangannya :
1.    Hukum dibuat dalam budayayang sedemikian patriarkhis, dan mendasrkan dirinya pada personal penguasa. Legitimasinya adalah perintah yang suci, inspirasi dari yang tertinggi.
2.    Hukum dimonopoli oleh sekelompok aristokrat dan sekelompok elit masyarakat yang memiliki privilise tertentu (hak istimewa). Maine menyebutnya sebagai Costumary Law (hukum adat, hukum kebiasaan).
3.    Tahap ketika hukum-hukum adat ada yang dikodefikasikan karena konflik yang terjadi diantara beberapa masyarakat pendukung hukum adat yang bersangkutan.
4.    Tahap dimana hukum adat mulai ingin dikontekstualisasikan dengan kondisi masyakat dan zaman yang mulai maju dan berkembang. Adanya prinsip kesamaan (equalitty before lax) dan adanya lembaga-lembaga legislasi.
5.    Tahap ketika ilmu hukum atau jurisprudence memegang peranan besar untuk membentuk hukum. Hukum yang terbentuk semakin sistematis dan konsisten, juga ilmiah karena ilmu hukum menjadi metodologi untuk membentuk hukum.

Maine hanya bermaksud menggambarkan tahapan-tahapan tersebut sebagai kecenderungan umum yang terjadi dalam evolusi perkembangan hukum dan perbuatan hukum.

James Coolidge Carter
Carter terkenal sebagai tokoh pemikir Amerika dalam Mazhab Historical Jurisprudence, yang mana sama dengan Savigny menolak gagasan kodifikasi. Carter tidak sependapat dengan David Dudley Field yang ingin mengganti hukum privat New York dengan civil code yang terkodifikasikan pada masa reformasi hukum Amerika pada tahun 1880-an.

Bagi Carter asas preseden dalam hukum tidak lain adalah pengafirmasikan dan pembuktian hukum kebiasaan yang telah ada (authenticated custom). Pengadilan tidak membuat hukum tetapi hanya mencari dan menemukan patokan yang benar salah tersebut di dalam masyarakat, yaitu kebiasaan yang telah dikenal dan mengakar di dalam masyarakat.

Argumen Carter menentang pendapat David Dedley Field yang mberpendapat kodifikasi hukum, maka akan ada kepastian hukum. Carter menentang pendapat tersebut dengan pendapatnya bahwa walaupun sudah di kodifikasikan peraturan tersebut tetap perlu diinterpretasikan atau ditafsirkan.
Kodifikasi menghambat perkembangan hukum karena keterpakuan pada kodifikasi yang ada, apalagi mempertimbangkan mekanisme amandemen apabila ada kesalahan atau kekurangan pada norma yang bersangkutan.



Daftar Pustaka

Huijbers, Theo, 1982, Filasafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Huku, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Zulkarnain, 2003, kritik terhadap pemikiran hukum madzab sejarah, © Digitized by USU digital library
Darmodiharjo, Darjidan Sidharta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia, Jakarta
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang, 2008, Pengantar ke Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar