Minggu, 02 Februari 2014

FILASASFAT HUKUM DALAM LINTASAN SEJARAH (DR. THEO HUIJBERS)


Ringkasan tugas filsafat hukum dari buku Dr. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, ini melihat perkembangan pemikiran filsafat dari para filsuf dari jaman yunani kuno, hukum kodrat, perkembangan hukum abad ke-19 positivisme dan perkembangan pemikiran hukum abad ke-20. Masing-masing masa perkembangan filsafat hukum mempunyai pemikiran dan pandangan yang berbeda sesuai dengan dimana para filsuf hidup.


1. HUKUM ZAMAN YUNANI KUNO
Plato (42 7-347 SM), dalam buku Politeia, dalam dunia fenomena terdapat negara-negara yang real dan kurang sempurna, sedangkan dalam dunia eidos terdapat negara yang ideal. Yaitu suatu negara yang teratur secara adil. Sedangkan dalam buku Nomoi (undang-undang).
Pandangan dalam pembentukan undang-undang. Kitab undang-undang didahului suatu perembukan tentang motif dan tujuan mentaati undang-undang. Dapat disimpulkan bahwa ajaran plato tentang negara dan hukum mengandung unsur-unsur yang baik bagi perkembangan suatu negara yang adil dan merdeka.
Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles, manusia merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana manusia harus ikut dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian Aristoteles membagi hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam yaitu suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia yakni dalam undang-undang. Dimana undang-undang tersebut belaku setelah ditetapkan oleh instasi yang berwibawa. Aristoteles yang pertama kalinya membedakan antara hukum alam dan hukum positif yang mana bertujuan paa keadilan.


2. HUKUM ZAMAN ROMAWl
Pada permulaan Kerajaan Romawi (abad 8 SM), peraturan Romawi hanya untuk kota Roma (753 SM). Aliran filsafat yang mempengaruhi orang romawi pada hukum adalah aliran stoa. Ide dasar aliran stoa, semua yang ada merupakan kesatuan yang teratur (kosmos), dan prinsip kesatuan yakni jiwa dunia (logos).
Sehingga hidup bersama manusia mempunyai hubungan dengan logos yakni melalui hukum universal (lex universalis), hukum abadi (lex aeterna) dan hukum alam (lex naturalis).
Menurut cicero, negara merupakan perkumpulan orang banyak yang dipersatukan melalui aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama.
Salah satu hal yang penting adalah ius gentium yakni timbulnya hukum bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa tidak lain dari pada hukum alam yang sudah menjadi hukum positif pada segala bangsa. Pengaruh dari ius gentium itu masuk codex iustinianus pada abad VI. Melalui jalaan ini hukum romawi kuno menjadi sumber utama dari hukum perdata modern.

3. MAZHAB HUKUM ALAM
Thomas Aquinas
Menurut Thomas Aquinas hukum dibedakan dari hukum yang berasl dari wahyu dan hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri.
Thomas Aquinas berpendapat bahwa di samping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Hukum dapat dibedakan :
-       Lex aeterna yaitu hukum rasio Tuhan yang mengatur segala sesuatu dalam alam semesta. Manusia tidak mampu memahami lex aeterna secara keseluruhan.
-       Lex naturalis yaitu hukum yang penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio, bagian yang dapat ditangkap oleh rasio manusia. Lex naturalis memberikan pengarahan kepada manusia melalui petunjuk umum. Misalnya yang baik harus dilakukan, yang buruk dihindari.
-       Lex divina yaitu hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia, petunjuk-petunjuk dari Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci
-       Lex Humane yaitu rumusan hukum. Karena sumber utama dari hukum adalah akal, maka hukum harus menyesuaikan diri pada dalil-dalil bekerjanya akal. Hukum yang tidak

Prinsip-prinsip hukum kodrat
Thomas Aquinas menerima hukum kodrat sebagai prinsip-prinsip segala hukum positif, yang berhubungan secara langsung dengan manusia manusia dan dunia sebagai ciptaan Tuhan

Prinsip-prinsip ini dibagi dua, yakni :
prinsip hukum kodrat primer, yakni prinsip hukum yang telah dirumuskan oleh para pemikir stoa pada zaman klasik: hidup secara terhormat, tidak merugikan seorangpun, memberikan tiap-tiap orang menurut haknya.
prinsip hukum kodrat sekunder, yakni norma-norma moral, umpanya jangan membunuh. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar menukar dan keadilan legal (iustitia distributiva, iustitia commutativa, iustitia legalis)

Immanuel Kant
Hukum menolak kekuasaan politk dari pemberlakuan hukum. Hal ini disebabkan hukum tidak boleh berisi muatan politik. Undang-undang negara tidak mendaoat arti hukum dari hubungannya dengan prinsip-prinsip akal budi praktis. Hukum hanya menjadi hukum oleh karena berasal dari yang berhak untuk membentuk hukum, yakni pemerintah. Berarti undang-undang harus ditaati pula bila hukum itu tidak adil, yaitu melawan prinsip-prinsip hukum akal budi praktis.


4. Abad ke-19
G.W. F. Hegel
Filsafat masa kini merupakan aneka bentuk reaksi langsung atau tak langsung atas pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Menurut Hegel semua yang ada dan semua kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan bersifat rohani.  Namun celakanya, Yang Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"), namun adalah materi belaka.
Karl Marx
Mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya pada tahap awal).  Feuerbach berpendapat Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah sarana manusia memproyeksikan cita-cita manusia tentang dirinya sendiri. Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi atas perkembangan masyarakat dan sejarah.  Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
             Marx, masyarakat terbagi dalam suprastruktur masyarakat (moral, agama, ilmu pengetahuan, dll), sedangkan infrastruktur dalam hubungan ekonomis. Perkembagan infrastruktur adalah bersifat menetukan bagi perkembangan suprastruktur.


5 .Mazhab Hukum Historis

Friedrich Carl von Savigny
Hukum itu ditentukan secara historis, berubah menurut waktu dan tempat. Mazhab sejarah menitik beratkan pada jiwa bangsa (volkgeist), sehingga hukum melalui proses yang perlahan-lahan sama halnya dengan bahasa. Sumber hukum adalah perasaan keadilan yang instingtif yang dimiliki setiap bangsa. Jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu menghasilkan hukum positif.

6. Posititivisme Sosiologis
Auguste Comte
Untuk mencari pengertian tentang masyaraskat itu dengan menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan sosilal yang bersifat menetukan bagi hubungan-hubungan antara orang dengan negara.
Comte memisahkan teori dan praktek. Perubahan-perubahan masyarakat dibiarkannya kepada instasi-instasi yang berkuasa.

7. Positivisme Yuridis
Rudolph von Jhering
Dikenal dengan ajaran tentang sarana sosial sebagai sumber hukum menjadi inspirasi bagi aliran interessenjurisprudenz. Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.

John Austin
Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence)
Hukum merupakan perintah dari kekuasaan politik yg berdaulat dalam suatu negara.
Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup. Selanjutnya ilmu hukum dipandang sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri.
Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur,yaitu: adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.

8. ABAD KE-20

Hans Kelsen
Aliran Hukum Murni (Reine Rechtlehre)
Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum harus di patuhi.
Stufenbautheory, sistem norma dasar teratas mepakan sebagai dasar dan bersifat abstrak sehingga semakin kebawah semakin konkret. Hukum pada hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tinggi.
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, histories, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari kelsen

Gustav Radbruch
Hukum merupakan suatu unsur kebudayaan, maka unsusr kebuayaan yang terdapat nilai dalam kehidupan yang konkret manusia. Hukum sebagai hukum kalau merupakan suatu perwujudan keadilan sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah itu.
Tujuan hukum menurut Gustav Radbruch ada tiga: kepastian, daya guna dan kemanfaatan.

9. NeoPositivisme
Realisme Amerika
Oliver Wondell Holmes
Hakim memberi makna baru dan penafsiran ke suatu aturan hukum yang telah ada atau menciptakan suatu aturan hukum baru untuk pertama kalinya. Hukum seperti yang dinyatakan secara konkret melalui pengadilan, adalah bersumber dari kebutuhan dimasanya, moral umum dan teori –teori politik, intuisi tentang apa yang menjadi kebutuhan kebijakan umum, selaras dengan prasangka yang dimilki para hakim dan sejumlah faktor lain.

Roscoe Pound
Pragmatisme Amerika merupakan basis ideologi teori Roscoe Pound tentang keseimbangan kepentingan. Menurutnya hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan yuridis yang terlampau eksklusif.
Hukum itu harus didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Hukum yang bersifat logis analitis dan serba abstrak (hukum murni) atau pun yang berisi gambaran realitis apa adanya (sosiologis) tidak mungkin diandalkan. Karena itu perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Dari sinilah muncul teori Pound tentang law as a tool of social engineering (menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat).

Realisme Skandinavia
Axel Hagerstrom
Ilmu pengetahuan hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu ditemukannya dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan-perasaan itu menjadi dampak dalam rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan, dan sebagainya.
Karl Olivecrona
Hukum terutama terdiri dari aturan-aturan yang bersifat paksaan, aturan-aturan yang mengandung pola-pola tingkah laku untuk penggunaan paksaan. Aturan-aturan yang bersifat paksaan itu dengan istilah aturan-aturan primer. Sedangkan aturan-aturan yang bersifat privat (perdata) diistilahkannya sebagai aturan sekunder. Aturan hukum merupakan sejumlah peraturan. Peraturan-peraturan tersebut mempunyai pengaruh psikologi yang besar terhadap kelakuan orang.  Peraturan-peraturan hukum ditanggapi sebagai norma moral. Sistem aturan-aturan hukum bukanlah suatu sistem tertutup, sistem aturan-aturan hukum tidak mempunyai batas-batas yang tegas.
Sehingga mengikatnya hukum ada hanya sebagai suatu ide di dalam pikiran manusia. Orang merasa diikat oleh hukum dan dalam suatu analisis tentang perasaan-perasaan inilah esensi hukum dapat ditemukan.

Alf Ross
Realitas sosial merupakan suatu unsur realitas sosial dalam mana kita hidup. Realitas sosial adalah sesuatu yang khusus, yang tidak dapat disamakan dengan realitas alam. Norma-noram yang berlaku hanya berdungsi dalam suatu proses pembuatan undang-undang dimana kejadian-kejadian yuridis digabungkan dengan sanksi-sanksi hukum.


H.L.A. Hart
Kaidah-kaidah hukum dibagi menjadi dua. Pertama kaidah primer, dimana menetukan kelakuan subyek-subyek hukum, apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Kaidah kedua adalah kaidah sekunder, syarat-syarat bagi berlakunya kaidah-kaidah primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis kaidah tersebut. Sehingga disebut dengan petunjuk pengenal (rules of recognition), syarat bagi perubahan kaidah-kaidah (rules of change) dan dipecahkannya konflik dalam rangka kaidah-kaidah (rules of adjudication).

10. Sosiologi Hukum
Max Webber
Penyelidikan empiris diperlukan untuk mengerti masyarakat, strukturnya dan masalah-masalahnya. Dengan itu gejala hukum diselidiki secara historis empiris. Mayarakat diselidiki mengandung unsur-unsur empiris maupun kebudayaan, maka dari itu sosiologi memerlukan dua cara peneyelidikan, yaitu metode empirisi dan metode vertehen.
Sosiologi hukum harus besifat naturalistis. Itu berarti norma-norma hukum harus dipandang sebagai kenyataan sosial. Peraturan-peraturan hukum berfungsi sebagai motif tingkah laku manusia hanya karena mereka itu pada kenyataannya ada. Atas dasar kenyataan adanya peraturan-peraturan keyakinan dapat diungkapkan bahwa orang akan bertindak sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut.


Eugen Ehrlich
Masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial. Sifat normatif hukum hukum tidak diakui, hukum merupakan kenyataan saja. Kenyataan-kenyataan yang melahirkan hukum menyangkut hidup manusia. Kenyataan-kenyataan normatif menjadi normatif, ada empat jalan yaitu, kebiasaan, kekuasaan efektif, milik efektif dan pernyataan kehendak.
Hukum yang hidup, hukum itu bukan suatu aturan atas anggota-anggota masyarakat, melainkan diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Menurut Ehrlich, hukumpositif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan social-sosial tertentu. Hukum sendiri tidak mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakatdidasarkan pada pengakuan social terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara. Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Secara konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan.

10. Fenomelogi dan Eksistensialisme
Adolf Reinach
Hukum positif dalam negara-negara berbeda-beda. Isi hukum dari jaman sekarang berbeda dengan isi hukum jaman dahulu. Faktor-faktor yang menetukan hukum positif adalah pandangan etis orang-orang dalam jaman tertentu. Sehingga hukum memilki suatu realitas obyektif, justru sebagai hukum. Hukum sebagai arti obyektif sebagai hukum digunakan orang dala pembentukan undang-undang. Hukum adalah suatu gejala yang bersifat idiil. Yang idiilnya mempunyai suatu keharusan, maka berlaku sebagai norma hukum.
Paul Amselek
Aspek yuridis sebagai duatu yang yuridis lepas dari aspek-aspek lain yang mencampuri ide murni tentang hukum. Sifat-sifat variabel dari hukum disingkirkan melalui reduksi eidetis untuk sampai pada bentuk hukum yang hakiki. Inti hukum adalah aspek yuridis gejala hukum tidak lain daripada kesadaran keharusan atau kesadaran kewajiban yang ada dalam subyek hukum. Kesadaran-kesadaan tersebut tidak menyangkut isi hukum, tetapi hanya bentuk hukum. Ilmu hukum dibagi dalam sosiologi hukum dan suatu psikologi hukum, berdasarkan kenyataan bahwa manusia mengalami hubungannya dengan hukum baik dibidang sosial maupun dibidang pribadi.


11. Teori-Teori Hukum Alam
Francois Geny
Tafsiran hukum dapat diselaraskan seluruhnya tidak benar, bahwa tafsiran hukum dapat diselaraskan seluruhnya dengan situasi sosial-ekonomi masyarakat dalam segala perubahannya. Semua unsur hukum harus diperhatikan, bukan hanya undang-undangabstrak, bukan juga situasi konkret masyarakat. Pembentukan undang-undang waktu undang-undang itu ditentukan. Penafsiran undang-undang harus selalu mengindahkan maksud ini. Perlu diperhatikan akan situasi masyarakat jaman hukum dibentuk, yakni kebutuhan dan susunan sosial jaman itu. Logika intern dan sistematik undang-undang diindahkan. Dengan tafsiran undang-undang dianggap tepat. Ilmu pengetahuan hukum tertuju kepada masyarakat sebagaimana adanya dan berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip material hukum didalamnya.  

Kesimpulan
Filsafat Hukum berkembang dari masa ke masa, namun semua saling bertumpu dari pemahanan dari masa sebelumnya dalam mengembangkan pemikiran tentang filsafat hukum.
Perkembangan filsafat hukum dapat dibagi menjadi empat masa perkembangannya; 1. Jaman Yunani kuno; 2. Hukum Kodrat; 3. Positifisme dan 4. Realisme Hukum. Dimana pemikiran para filsuf berkembang sesuai dimana masa mereka hidup.
Perkembangan pemikiran filsafat hukum berkembang dengan dimulainya pemikiran tentang keadilan dalam masyarkat oleh filsuf yunani. Sehingga filsuf-filsuf yunani adala peletak dari dasar pemikiran tentang filsafat hukum. Dimana keadilan dalam suatu negara dapat diwujudkan melalui penguasa-penguasa yang mendapatkan peran sebagai pembentuk dari hukum
Pemikiran filsafat yunani kemudian berkembang oleh pemikiran pada masa hukum kodrat dengan tokohnya Thomas Aquinas. Yang memberikan gambaran bahwa hukum itu berdasarkan dari alam atau  Tuhan. Sehingga tidak ada hukum selain hukum yang diturunkan oleh Tuhan. Sehingga Thomas Aquinas dikenal dengan pemikirannya tentang lex eterna, lex humana dan lex devina.
Pemikiran dari hukum kodrat tersebut direduksi oleh pemikir pada abad pertengahan, itu pada abad ke-19 dimana pemikiran mengenai positivisme berkembang, sehingga dapat dikatakan dalam abad ke-19 merupakan kebangkitan dan keagungan dari kaum positivisme. Menurut kaum positivisme apa yang dikatakan oleh undang-undang adalah hukum, sehingga diluar undang-undang tidak dianggap sebagai hukum. Positivisme menolak campur tangan diluar hukum, sehingga aliran ini menghendaki dilepasnya pengaruh metayuridis di dalam hukum. Hukum harus dibebaskan dari pengaruh-pengaruh non yuridis. Sehingga tidak ada penafsiran terhadap undang-undang, dengan mengejar kepastian hukum dari bunyi undang-undang.
Kemudian berkembang pemikiran hukum yang dikenal dengan realisme hukum, dimana hukum dilihat dalam realita masyarakat. Titik tolak pemikiran adalah pertimbangan bahwa hukum merupakan suatu unsur hidup bermasyarakat.  Dalam sosiologi normatif melihat bahwa gejala-gejala tertentu berfungsi sebagai norma bagi gejala-gejala empiris kehidupan masyarakat. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
Hukum adalah sebagaia mana yang dilakukan hukum, hukum adalah apa yang dilakukan para pejabat (yaitu para hakim). Hukum tidak dapat ditemukan didalam, dan tidak dapat disimpulkan dari aturan-aturan yang olehnya para hakim dipandu.
Bagaimana bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum, tidak sebagaimana diatas kertas, adalah inti dari pendekatan pragmatis pada problema-problema hukum. Para realis berbalik pada ilmu-ilmu pengetahuan yang mulai mengamati perilaku manusia dan masyarakat. Mempelajari bagaimana bekerjanya dan fungsi-fungsi hukum berarti menyelidiki faktor-faktor sosial yang disatu pihak membentuk hukum dan dilain melihat hukum dalam masyarakat.
Hakim mempunyai kebebasan yang lebih dalam memutuskan perkara-perkara daripada menurut pada undang-undang. Sehingga dalam arti luas gerakan realis dalam ilmu hukum merupakan bagian dari gerakan sosiologis. Yang secara keseluruhan gerakan realis nampaknya melengkapi aspek ilmu hukum sosiologis yang dilukiskan sebagai idealisme sosiologis.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar