Ringkasan tugas filsafat hukum dari buku Dr. Theo
Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, ini melihat
perkembangan pemikiran filsafat dari para filsuf dari jaman yunani kuno, hukum
kodrat, perkembangan hukum abad ke-19 positivisme dan perkembangan pemikiran
hukum abad ke-20. Masing-masing masa perkembangan filsafat hukum mempunyai
pemikiran dan pandangan yang berbeda sesuai dengan dimana para filsuf hidup.
1.
HUKUM ZAMAN YUNANI KUNO
Plato (42 7-347 SM), dalam buku Politeia, dalam dunia fenomena terdapat negara-negara
yang real dan kurang sempurna, sedangkan dalam dunia eidos terdapat negara yang
ideal. Yaitu suatu negara yang teratur secara adil. Sedangkan dalam buku
Nomoi (undang-undang).
Pandangan dalam pembentukan
undang-undang. Kitab undang-undang didahului suatu perembukan tentang motif dan
tujuan mentaati undang-undang. Dapat disimpulkan bahwa ajaran plato tentang
negara dan hukum mengandung unsur-unsur yang baik bagi perkembangan suatu
negara yang adil dan merdeka.
Aristoteles (348-322 SM) yang menulis buku Politika juga
memberikan tawaran baru pada pengertiannya tentang hukum. Menurut Aristoteles,
manusia merupakan "makhluk polis" (zoon politicon), dimana
manusia harus ikut dalam kegiatan politik dan taat pada hukum polis. Kemudian
Aristoteles membagi hukum menjadi 2 (dua). Pertama adalah hukum alam yaitu suatu
hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan
alam. Yang kedua adalah hukum positif, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia
yakni dalam undang-undang. Dimana undang-undang tersebut belaku setelah
ditetapkan oleh instasi yang berwibawa. Aristoteles yang pertama kalinya
membedakan antara hukum alam dan hukum positif yang mana bertujuan paa
keadilan.
2.
HUKUM ZAMAN ROMAWl
Pada permulaan Kerajaan Romawi (abad 8 SM), peraturan
Romawi hanya untuk kota Roma (753 SM). Aliran filsafat yang mempengaruhi orang
romawi pada hukum adalah aliran stoa. Ide dasar aliran stoa, semua yang ada
merupakan kesatuan yang teratur (kosmos), dan prinsip kesatuan yakni jiwa dunia
(logos).
Sehingga hidup bersama manusia mempunyai hubungan dengan
logos yakni melalui hukum universal (lex universalis), hukum abadi (lex
aeterna) dan hukum alam (lex naturalis).
Menurut
cicero, negara merupakan perkumpulan orang banyak yang dipersatukan melalui
aturan hukum berdasarkan kepentingan bersama.
Salah satu hal yang penting adalah ius gentium yakni
timbulnya hukum bangsa-bangsa. Hukum bangsa-bangsa tidak lain dari pada hukum
alam yang sudah menjadi hukum positif pada segala bangsa. Pengaruh dari ius
gentium itu masuk codex iustinianus pada abad VI. Melalui jalaan ini hukum
romawi kuno menjadi sumber utama dari hukum perdata modern.
3. MAZHAB HUKUM ALAM
Thomas Aquinas
Menurut Thomas Aquinas hukum
dibedakan dari hukum yang berasl dari wahyu dan hukum yang dijangkau oleh akal
budi manusia sendiri.
Thomas Aquinas berpendapat bahwa di samping kebenaran
wahyu juga terdapat kebenaran akal. Hukum dapat dibedakan :
-
Lex aeterna
yaitu hukum rasio Tuhan yang mengatur segala sesuatu dalam alam semesta.
Manusia tidak mampu memahami lex aeterna secara keseluruhan.
-
Lex naturalis
yaitu hukum yang penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio, bagian yang dapat
ditangkap oleh rasio manusia. Lex naturalis memberikan pengarahan kepada
manusia melalui petunjuk umum. Misalnya yang baik harus dilakukan, yang buruk
dihindari.
-
Lex divina
yaitu hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia,
petunjuk-petunjuk dari Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci
-
Lex Humane
yaitu rumusan hukum. Karena sumber utama dari hukum adalah akal, maka hukum
harus menyesuaikan diri pada dalil-dalil bekerjanya akal. Hukum yang tidak
Prinsip-prinsip hukum kodrat
Thomas Aquinas menerima hukum kodrat
sebagai prinsip-prinsip segala hukum positif, yang berhubungan secara langsung
dengan manusia manusia dan dunia sebagai ciptaan Tuhan
Prinsip-prinsip ini dibagi dua, yakni :
prinsip hukum
kodrat primer, yakni prinsip hukum yang telah dirumuskan oleh para pemikir stoa
pada zaman klasik: hidup secara terhormat, tidak merugikan seorangpun,
memberikan tiap-tiap orang menurut haknya.
prinsip hukum
kodrat sekunder, yakni norma-norma moral, umpanya jangan membunuh. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar menukar dan keadilan
legal (iustitia distributiva, iustitia commutativa, iustitia legalis)
Immanuel Kant
Hukum menolak
kekuasaan politk dari pemberlakuan hukum. Hal ini disebabkan hukum tidak boleh
berisi muatan politik. Undang-undang negara tidak mendaoat arti hukum dari
hubungannya dengan prinsip-prinsip akal budi praktis. Hukum hanya menjadi hukum
oleh karena berasal dari yang berhak untuk membentuk hukum, yakni pemerintah.
Berarti undang-undang harus ditaati pula bila hukum itu tidak adil, yaitu
melawan prinsip-prinsip hukum akal budi praktis.
4. Abad ke-19
G.W. F. Hegel
Filsafat masa
kini merupakan aneka bentuk reaksi langsung atau tak langsung atas pemikiran
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831).
Menurut Hegel semua yang ada dan semua kejadian merupakan
pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan bersifat rohani. Namun celakanya, Yang Mutlak itu tidak mutlak
jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul mutlak, tentunya maha
sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel
langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa
yang sedang-menjadi itu, yang sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide
("Yang Mutlak"), namun adalah materi belaka.
Karl Marx
Mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi
belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme
tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya
pada tahap awal). Feuerbach berpendapat
Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah
sarana manusia memproyeksikan cita-cita manusia tentang dirinya sendiri. Marx
menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi atas perkembangan
masyarakat dan sejarah. Yang justru
dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk itu harus
dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
Marx, masyarakat terbagi dalam suprastruktur
masyarakat (moral, agama, ilmu pengetahuan, dll), sedangkan infrastruktur dalam
hubungan ekonomis. Perkembagan infrastruktur adalah bersifat menetukan bagi
perkembangan suprastruktur.
5 .Mazhab
Hukum Historis
Friedrich
Carl von Savigny
Hukum itu ditentukan secara historis, berubah menurut waktu dan
tempat. Mazhab sejarah menitik beratkan pada jiwa bangsa (volkgeist), sehingga
hukum melalui proses yang perlahan-lahan sama halnya dengan bahasa. Sumber
hukum adalah perasaan keadilan yang instingtif yang dimiliki setiap bangsa.
Jiwa bangsa yang sama-sama hidup dan bekerja di dalam tiap-tiap individu
menghasilkan hukum positif.
6. Posititivisme Sosiologis
Auguste Comte
Untuk mencari pengertian tentang masyaraskat itu dengan menemukan
hukum-hukum yang menguasai kehidupan sosilal yang bersifat menetukan bagi
hubungan-hubungan antara orang dengan negara.
Comte
memisahkan teori dan praktek. Perubahan-perubahan masyarakat dibiarkannya
kepada instasi-instasi yang berkuasa.
7. Positivisme Yuridis
Rudolph von
Jhering
Dikenal dengan ajaran tentang
sarana sosial sebagai sumber hukum menjadi inspirasi bagi aliran
interessenjurisprudenz. Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk
mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu,
agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Hukum
merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
perubahan-perubahan sosial.
John Austin
Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical
Jurisprudence)
Hukum merupakan perintah dari kekuasaan
politik yg berdaulat dalam suatu negara.
Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup. Selanjutnya
ilmu hukum dipandang sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat
mencukupi dirinya sendiri.
Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur,yaitu: adanya unsur perintah,
sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.
8.
ABAD KE-20
Hans Kelsen
Aliran Hukum
Murni (Reine Rechtlehre)
Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah,
dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah
hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem
pertanggapan adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam bensin
yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum
harus di patuhi.
Stufenbautheory, sistem norma
dasar teratas mepakan sebagai dasar dan bersifat abstrak sehingga semakin
kebawah semakin konkret. Hukum pada hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang
tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tinggi.
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir
nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, histories, bahkan etis.
Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari
kelsen
Gustav
Radbruch
Hukum merupakan suatu unsur kebudayaan, maka unsusr kebuayaan yang terdapat
nilai dalam kehidupan yang konkret manusia. Hukum sebagai hukum kalau merupakan
suatu perwujudan keadilan sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah itu.
Tujuan hukum
menurut Gustav Radbruch ada tiga: kepastian, daya guna dan kemanfaatan.
9. NeoPositivisme
Realisme Amerika
Oliver
Wondell Holmes
Hakim memberi makna
baru dan penafsiran ke suatu aturan hukum yang telah ada atau menciptakan suatu
aturan hukum baru untuk pertama kalinya. Hukum seperti yang dinyatakan secara
konkret melalui pengadilan, adalah bersumber dari kebutuhan dimasanya, moral
umum dan teori –teori politik, intuisi tentang apa yang menjadi kebutuhan
kebijakan umum, selaras dengan prasangka yang dimilki para hakim dan sejumlah
faktor lain.
Roscoe Pound
Pragmatisme Amerika
merupakan basis ideologi teori Roscoe Pound tentang keseimbangan kepentingan.
Menurutnya hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep logis-analitis
ataupun tenggelam dalam ungkapan yuridis yang terlampau eksklusif.
Hukum itu harus
didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan
dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Hukum yang bersifat logis
analitis dan serba abstrak (hukum murni) atau pun yang berisi gambaran realitis
apa adanya (sosiologis) tidak mungkin diandalkan. Karena itu perlu langkah
progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Dari sinilah muncul
teori Pound tentang law as a tool of social engineering (menata
kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat).
Realisme Skandinavia
Axel Hagerstrom
Ilmu pengetahuan
hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam
bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu ditemukannya dalam perasaan-perasaan
psikologis. Perasaan-perasaan itu menjadi dampak dalam rasa wajib, rasa kuasa
dalam mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan, dan sebagainya.
Karl Olivecrona
Hukum terutama
terdiri dari aturan-aturan yang bersifat paksaan, aturan-aturan yang mengandung
pola-pola tingkah laku untuk penggunaan paksaan. Aturan-aturan yang bersifat
paksaan itu dengan istilah aturan-aturan primer. Sedangkan aturan-aturan yang
bersifat privat (perdata) diistilahkannya sebagai aturan sekunder. Aturan hukum
merupakan sejumlah peraturan. Peraturan-peraturan tersebut mempunyai pengaruh
psikologi yang besar terhadap kelakuan orang.
Peraturan-peraturan hukum ditanggapi sebagai norma moral. Sistem
aturan-aturan hukum bukanlah suatu sistem tertutup, sistem aturan-aturan hukum
tidak mempunyai batas-batas yang tegas.
Sehingga mengikatnya
hukum ada hanya sebagai suatu ide di dalam pikiran manusia. Orang merasa diikat
oleh hukum dan dalam suatu analisis tentang perasaan-perasaan inilah esensi
hukum dapat ditemukan.
Alf Ross
Realitas sosial merupakan suatu unsur realitas sosial dalam
mana kita hidup. Realitas sosial adalah sesuatu yang khusus, yang tidak dapat
disamakan dengan realitas alam. Norma-noram yang berlaku hanya berdungsi dalam
suatu proses pembuatan undang-undang dimana kejadian-kejadian yuridis
digabungkan dengan sanksi-sanksi hukum.
H.L.A. Hart
Kaidah-kaidah hukum
dibagi menjadi dua. Pertama kaidah primer, dimana menetukan kelakuan
subyek-subyek hukum, apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Kaidah
kedua adalah kaidah sekunder, syarat-syarat bagi berlakunya kaidah-kaidah
primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis kaidah tersebut. Sehingga
disebut dengan petunjuk pengenal (rules of recognition), syarat bagi perubahan
kaidah-kaidah (rules of change) dan dipecahkannya konflik dalam rangka
kaidah-kaidah (rules of adjudication).
10. Sosiologi Hukum
Max Webber
Penyelidikan empiris
diperlukan untuk mengerti masyarakat, strukturnya dan masalah-masalahnya.
Dengan itu gejala hukum diselidiki secara historis empiris. Mayarakat
diselidiki mengandung unsur-unsur empiris maupun kebudayaan, maka dari itu
sosiologi memerlukan dua cara peneyelidikan, yaitu metode empirisi dan metode
vertehen.
Sosiologi hukum
harus besifat naturalistis. Itu berarti norma-norma hukum harus dipandang
sebagai kenyataan sosial. Peraturan-peraturan hukum berfungsi sebagai motif
tingkah laku manusia hanya karena mereka itu pada kenyataannya ada. Atas dasar
kenyataan adanya peraturan-peraturan keyakinan dapat diungkapkan bahwa orang
akan bertindak sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut.
Eugen Ehrlich
Masyarakat adalah
ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial. Sifat
normatif hukum hukum tidak diakui, hukum merupakan kenyataan saja.
Kenyataan-kenyataan yang melahirkan hukum menyangkut hidup manusia.
Kenyataan-kenyataan normatif menjadi normatif, ada empat jalan yaitu,
kebiasaan, kekuasaan efektif, milik efektif dan pernyataan kehendak.
Hukum yang hidup, hukum
itu bukan suatu aturan atas anggota-anggota masyarakat, melainkan diwujudkan
dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Menurut Ehrlich, hukumpositif baru
akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum
tunduk pada kekuatan social-sosial tertentu. Hukum sendiri tidak mungkin
efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakatdidasarkan pada pengakuan
social terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh negara.
Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang
didasarkan pada norma sosial yang tercermin dalam sistem hukum. Secara
konsekuen Ehrlich beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang
mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan
nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan.
10. Fenomelogi dan Eksistensialisme
Adolf Reinach
Hukum positif dalam
negara-negara berbeda-beda. Isi hukum dari jaman sekarang berbeda dengan isi
hukum jaman dahulu. Faktor-faktor yang menetukan hukum positif adalah pandangan
etis orang-orang dalam jaman tertentu. Sehingga hukum memilki suatu realitas
obyektif, justru sebagai hukum. Hukum sebagai arti obyektif sebagai hukum
digunakan orang dala pembentukan undang-undang. Hukum adalah suatu gejala yang
bersifat idiil. Yang idiilnya mempunyai suatu keharusan, maka berlaku sebagai
norma hukum.
Paul Amselek
Aspek yuridis
sebagai duatu yang yuridis lepas dari aspek-aspek lain yang mencampuri ide
murni tentang hukum. Sifat-sifat variabel dari hukum disingkirkan melalui
reduksi eidetis untuk sampai pada bentuk hukum yang hakiki. Inti hukum adalah
aspek yuridis gejala hukum tidak lain daripada kesadaran keharusan atau
kesadaran kewajiban yang ada dalam subyek hukum. Kesadaran-kesadaan tersebut
tidak menyangkut isi hukum, tetapi hanya bentuk hukum. Ilmu hukum dibagi dalam
sosiologi hukum dan suatu psikologi hukum, berdasarkan kenyataan bahwa manusia
mengalami hubungannya dengan hukum baik dibidang sosial maupun dibidang
pribadi.
11. Teori-Teori Hukum Alam
Francois Geny
Tafsiran hukum dapat
diselaraskan seluruhnya tidak benar, bahwa tafsiran hukum dapat diselaraskan
seluruhnya dengan situasi sosial-ekonomi masyarakat dalam segala perubahannya.
Semua unsur hukum harus diperhatikan, bukan hanya undang-undangabstrak, bukan
juga situasi konkret masyarakat. Pembentukan undang-undang waktu undang-undang
itu ditentukan. Penafsiran undang-undang harus selalu mengindahkan maksud ini.
Perlu diperhatikan akan situasi masyarakat jaman hukum dibentuk, yakni
kebutuhan dan susunan sosial jaman itu. Logika intern dan sistematik
undang-undang diindahkan. Dengan tafsiran undang-undang dianggap tepat. Ilmu
pengetahuan hukum tertuju kepada masyarakat sebagaimana adanya dan berusaha
untuk menemukan prinsip-prinsip material hukum didalamnya.
Kesimpulan
Filsafat
Hukum berkembang dari masa ke masa, namun semua saling bertumpu dari pemahanan
dari masa sebelumnya dalam mengembangkan pemikiran tentang filsafat hukum.
Perkembangan
filsafat hukum dapat dibagi menjadi empat masa perkembangannya; 1. Jaman Yunani
kuno; 2. Hukum Kodrat; 3. Positifisme dan 4. Realisme Hukum. Dimana pemikiran
para filsuf berkembang sesuai dimana masa mereka hidup.
Perkembangan
pemikiran filsafat hukum berkembang dengan dimulainya pemikiran tentang
keadilan dalam masyarkat oleh filsuf yunani. Sehingga filsuf-filsuf yunani
adala peletak dari dasar pemikiran tentang filsafat hukum. Dimana keadilan
dalam suatu negara dapat diwujudkan melalui penguasa-penguasa yang mendapatkan
peran sebagai pembentuk dari hukum
Pemikiran
filsafat yunani kemudian berkembang oleh pemikiran pada masa hukum kodrat
dengan tokohnya Thomas Aquinas. Yang memberikan gambaran bahwa hukum itu
berdasarkan dari alam atau Tuhan.
Sehingga tidak ada hukum selain hukum yang diturunkan oleh Tuhan. Sehingga
Thomas Aquinas dikenal dengan pemikirannya tentang lex eterna, lex humana dan
lex devina.
Pemikiran
dari hukum kodrat tersebut direduksi oleh pemikir pada abad pertengahan, itu
pada abad ke-19 dimana pemikiran mengenai positivisme berkembang, sehingga
dapat dikatakan dalam abad ke-19 merupakan kebangkitan dan keagungan dari kaum
positivisme. Menurut kaum positivisme apa yang dikatakan oleh undang-undang
adalah hukum, sehingga diluar undang-undang tidak dianggap sebagai hukum. Positivisme
menolak campur tangan diluar hukum, sehingga aliran ini menghendaki dilepasnya
pengaruh metayuridis di dalam hukum. Hukum harus dibebaskan dari
pengaruh-pengaruh non yuridis. Sehingga tidak ada penafsiran terhadap
undang-undang, dengan mengejar kepastian hukum dari bunyi undang-undang.
Kemudian berkembang pemikiran
hukum yang dikenal dengan realisme hukum, dimana hukum dilihat dalam realita
masyarakat. Titik tolak pemikiran adalah
pertimbangan bahwa hukum merupakan suatu unsur hidup bermasyarakat. Dalam sosiologi normatif melihat bahwa
gejala-gejala tertentu berfungsi sebagai norma bagi gejala-gejala empiris
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada
hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara
itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran
tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
Hukum adalah sebagaia mana yang dilakukan hukum,
hukum adalah apa yang dilakukan para pejabat (yaitu para hakim). Hukum tidak
dapat ditemukan didalam, dan tidak dapat disimpulkan dari aturan-aturan yang
olehnya para hakim dipandu.
Bagaimana bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum, tidak
sebagaimana diatas kertas, adalah inti dari pendekatan pragmatis pada problema-problema
hukum. Para realis berbalik pada ilmu-ilmu pengetahuan yang mulai mengamati
perilaku manusia dan masyarakat. Mempelajari bagaimana bekerjanya dan
fungsi-fungsi hukum berarti menyelidiki faktor-faktor sosial yang disatu pihak
membentuk hukum dan dilain melihat hukum dalam masyarakat.
Hakim mempunyai kebebasan yang lebih dalam memutuskan
perkara-perkara daripada menurut pada undang-undang. Sehingga dalam arti luas
gerakan realis dalam ilmu hukum merupakan bagian dari gerakan sosiologis. Yang
secara keseluruhan gerakan realis nampaknya melengkapi aspek ilmu hukum
sosiologis yang dilukiskan sebagai idealisme sosiologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar